Di Balik Kericuhan Penagihan Utang di Kalibata

7 hours ago 8

Oleh : Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerusuhan yang pecah di Kalibata 11 Desember 2025 sesungguhnya bukan sekadar dipicu tewasnya dua mata elang atau debt collector karena dikeroyok sejumlah orang di wilayah Taman Makam Pahlawan (TMP). Kerusuhan ini terjadi sebetulnya adalah refleksi dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja. Sensitivitas masyarakat sangat mudah pecah karena didera tekanan kebutuhan hidup dan kondisi ekonomi yang serba kekurangan.

Menurut berita, kerusuhan di Kalibata memang bermula dari tewasnya dua mata elang yang dikeroyok sejumlah polisi yang kebetulan sedang melintas. Awalnya, kedua mata elang itu memberhentikan salah satu pengendara motor yang melintas yang ditengarai menunggak cicilan sepeda motornya. Mungkin karena tidak setuju dengan cara yang dilakukan debt collector dalam menagih utang,  sejumlah polisi keluar dari sebuah mobil yang melintas di belakangnya. Polisi dilaporkan mengeroyok kedua mata elang hingga tewas. Satu meninggal di lokasi pengeroyokan kemudian satu lagi di rumah sakit.

Bagi pihak yang memiliki utang, mereka biasanya menolak sepeda motor atau mobil cicilannya diambil bukan karena berniat ngemplang atau enggan membayar. Karena kondisi ekonomi keluarga sedang bermasalah dan cara yang dilakukan mata elang menagih cicilan utang dinilai kasar, berlebihan dan mengancam, maka yang muncul biasanya adalah tindakan perlawanan. Sementara itu, dari pihak debt collector, mereka memilih jalan pintas menagih utang dengan cara yang keras, karena berkeinginan masalah yang menjadi tanggung jawab mereka segera tuntas.

Mengapa Ricuh?

Kerusuhan di Kalibata meletus ketika sejumlah rekan kerja debt collector yang tewas tidak puas dan solider dengan nasib teman kerjanya. Seperti dilaporkan di media massa, seusai dua orang mata elang tewas, tiba-tiba ada sekelompok massa yang datang setelah maghrib. Mereka langsung menyerang dan merusak warung di sekitar TKP. Berdasarkan data dari Dinas Gulkarmat Jakarta Selatan, total ada 9 kios, 6 motor, dan 1 mobil hangus terbakar akibat amukan massa dalam kejadian ini.

Tindakan mata elang yang seringkali menagih utang dengan cara keras sebetulnya sudah lama dikeluhkan masyarakat. Mata elang adalah istilah yang umum dipakai di Indonesia untuk menyebut sekelompok penagih utang khusus yang bekerja khususnya mengejar kendaraan bermotor kredit (motor/mobil) yang cicilannya macet. Perampasan sepeda motor atau mobil yang menunggak cicilan biasanya dilakukan tanpa mengenal tempat: bisa di jalan atau di tempat umum, dan bisa pula di tempat kerja orang yang memiliki utang.

Mata elang ini dalam menjalankan tugasnya biasanya dipekerjakan oleh perusahaan pembiayaan/leasing atau ditunjuk oleh agen penagihan (outsourcing) untuk menemukan kendaraan debitur yang menunggak. Cara kerjanya adalah mengintai kendaraan di jalan, termasuk mencocokkan nomor polisi yang terekam dalam data debitur dan kemudian mengejar/menahan kendaraan jika pihak yang memiliki yang dinilai tidak kooperatif dan enggan membayar utang.

Cara kerja mata elang yang seringkali kasar, selama ini telah menjadi keresahan tersendiri di masyarakat. Secara hukum, mata elang bukanlah aparat penegak hukum yang berhak atau memiliki wewenang untuk menekan pihak pengutang. Mereka hanyalah pihak ketiga yang bekerja atas kuasa kreditur. Untuk itu, cara kerja mata elang yang dirasa berlebihan membuat banyak pihak keberatan.

Kalau mengacu pada aturan hukum yang berlaku, penarikan kendaraan oleh debt collector atau mata elang sebetulnya hanya bisa dilakukan atau sah jika didasarkan pada perjanjian fidusia yang telah terdaftar dan memiliki sertifikat fidusia elektronik. Tanpa dasar fidusia yang sah, tindakan penarikan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Bahkan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa penarikan objek fidusia tidak boleh dilakukan secara sepihak jika debitur keberatan atau tidak mengakui wanprestasi. Tugas debt collector sejatinya hanya sebatas menagih utang, bukan melakukan intimidasi atau kekerasan. Inilah yang menjadi titik krusial yang terkadang memicu konflik di masyarakat.

Penagihan utang yang dilakukan debt collector ricuh, karena seringkali melibatkan tindak kekerasan atau ancaman. Meski tindakan mata elang ini melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana. Tetapi, praktik kekerasan yang dilakukan mata elang terus saja terjadi dari waktu ke waktu.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur ketat proses penagihan utang oleh debt collector untuk mencegah kericuhan dan melindungi hak-hak debitur. Peraturan OJK, khususnya POJK Nomor 22 Tahun 2023 dan POJK Nomor 10/POJK.05/2022, menetapkan standar etika yang harus dipatuhi oleh perusahaan pembiayaan dan debt collector resmi. 

Debt collector tidak boleh menggunakan kekerasan fisik, ancaman, atau intimidasi dalam bentuk apapun. Sementara itu, penagihan juga hanya boleh dilakukan pada hari kerja, dari pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat, kecuali ada perjanjian lain dengan debitur. Penagihan di tempat kerja hanya diizinkan jika ada persetujuan dari debitur. Penagihan ke pihak lain (keluarga, kerabat, tetangga) juga dilarang karena melanggar privasi, kecuali pihak tersebut adalah penjamin utang.

Jika penagihan utang berujung ricuh dan menimbulkan tindak pidana seperti pengeroyokan, penganiayaan, pengancaman, atau perusakan, pelaku dapat dijerat pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. 

Kontraproduktif

Utang dalam kajian sosio-antropologi sesungguhnya bukan hanya masalah ekonomi. Tetapi juga mengandung dimensi sosial, politik, dan budaya. Seperti dikatakan David Graeber (2011), bahwa di masyarakat utang memang seringkali digunakan sebagai alat kekuasaan dan kontrol.

Utang dapat digunakan untuk mengontrol dan memanipulasi individu atau kelompok yang memiliki tanggungan utang. Utang dalam kehidupan sehari-hari juga seringkali memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Bagi masyarakat yang menanggung utang, mereka seringkali menanggung beban psikologis yang mendalam, stres dan cemas akan nasibnya. Studi telah banyak menunjukkan bahwa seseorang yang menanggung utang, ketika ditagih dengan cara paksa, dipermalukan tanpa rasa empati, maka sebagian bukan tidak mungkin akan menghindar dan bahkan melawan dengan keras.

Menagih utang memang bukan hal yang mudah. Menghadapi seseorang yang memiliki utang dan menunggak membayar kewajibannya, memang bagi lembaga yang meminjamkan akan berdampak merugikan. Menagih utang, karena itu adalah seni tersendiri dan membutuhkan pendekatan yang lebih berempati. Mengancam dan melakukan intimidasi mungkin untuk jangka pendek merupakan solusi praktis yang membuat si pemilik utang segera membayar kewajibannya. Namun demikian, cara-cara kekerasan dalam menagih utang sesungguhnya dalam jangka panjang berisiko kontra-produktif (*).

Read Entire Article
Politics | | | |