REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Di balik layar sibuk Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) yang dikenal sebagai Kampus Digital Kreatif, ada sekelompok peneliti yang tidak hanya berkutat dengan teori, tetapi juga diam-diam mengamati bagaimana manusia dan teknologi saling jatuh cinta, saling bergantung, sekaligus saling melelahkan.
Mereka bekerja dalam senyap, mengulik bagaimana dunia digital pelan-pelan membentuk cara orang berinteraksi, menyapa, bahkan merindukan satu sama lain.
Di tengah rutinitas kampus, tim peneliti UBSI yang terdiri atas Panny Agustia Rahayuningsih, Riski Annisa, dan Anna, bersama dua mahasiswa muda yang ikut turun ke lapangan yaitu Rizki Syahwal Ludiansyah dan Rini Afriani mengumumkan hasil penelitian yang lahir dari Program Hibah Internal Yayasan BSI Tahun 2025.
Bukan riset biasa. Ini penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap teknologi digital dalam hubungan antarpersonal, topik yang rasanya dekat dengan siapa saja yang pernah menunggu balasan chat atau merasa gelisah ketika kuota tiba-tiba habis.
Hasil riset ini dipublikasikan dalam Jurnal Khatulistiwa Informatika, jurnal nasional terakreditasi Sinta 4, dengan judul yang cukup tajam menggigit “Klasifikasi Persepsi terhadap Teknologi dalam Hubungan Antarpersonal Berdasarkan Interaksi Digital.”
Ada 387 responden usia produktif yang dilibatkan. Dari mereka, muncul gambaran yang jelas tentang bagaimana manusia masa kini membangun hubungan lewat layer scrolling, typing, reacting, dan terkadang overthinking.
Secara teknis, penelitian ini tidak main-main. Tim menggunakan pendekatan ensemble learning, menggabungkan Random Forest, XGBoost, Support Vector Machine (SVM), dan Logistic Regression lewat teknik soft voting.
Hasilnya cukup membuat alis para akademisi naik ke atas, Akurasi 82,18 persen, F1-score 80,26 persen, dan ROC-AUC 90,26 persen. Validasi menggunakan stratified 5-fold cross-validation untuk memastikan model tidak hanya pintar sesaat, tapi benar-benar konsisten membaca pola manusia.
Di tengah penjelasan data, Panny menyampaikan temuan yang kalau dipikir-pikir terasa sangat dekat dengan hidup banyak orang.
“Kepuasan interaksi digital, durasi penggunaan media sosial, dan kecemasan ketika tidak memiliki akses digital menjadi faktor paling dominan dalam membentuk persepsi seseorang terhadap teknologi,” ujarnya dalam keterangan rilis, Senin (15/12/2025).
Kalau diterjemahkan ke bahasa sehari-hari, itu artinya kita adalah generasi yang bisa bahagia karena notifikasi, cemas karena sinyal hilang, dan lega hanya karena centang biru berubah jadi dua. Hubungan manusia dengan teknologi bukan lagi soal fungsi, tapi juga soal perasaan.
Di titik itulah riset ini menemukan makna terbesarnya. Ia bukan hanya bicara tentang angka dan algoritma, tetapi tentang manusia, tentang bagaimana teknologi bisa membantu, tapi juga bisa menyita napas.
Temuan penelitian ini membuka wacana baru tentang literasi digital yang lebih sehat, penggunaan teknologi yang lebih bijak, dan pentingnya menjaga keseimbangan agar hubungan digital tidak menggerus hubungan emosional.
Panny dan tim berharap hasil penelitian ini bisa menjadi pijakan bagi banyak pihak. Industri bisa menggunakannya untuk merancang aplikasi yang lebih human-centered. Pemerintah dan lembaga pendidikan bisa menjadikannya dasar program literasi digital yang tidak asal seru, tapi benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.
Yang lebih penting, riset ini menjadi bukti UBSI tidak hanya mendidik mahasiswa untuk bekerja, tetapi juga mendorong mereka berpikir kritis tentang hidup digital yang mereka jalani.
Di antara deretan angka, grafik, dan model prediktif, riset ini pada akhirnya menegaskan satu hal sederhana bahwa hubungan manusia dan teknologi harus saling jaga, saling dukung, dan jangan sampai salah satu terlalu mendominasi.
Karena di era yang serb cepat ini, memahami teknologi sama pentingnya dengan memahami diri sendiri.

2 hours ago
2













































