REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan, mengatakan, siapapun pelakunya, jika terbukti ada kerugian negara yang besar dalam sebuah perkara maka masyarakat akan sulit untuk menerima. Dalam menjalankan kewenangannya, tidak ada satu pejabat pun yang bebas dari aturan hukum.
Maruar mengatakan, berkas perkara dan tersangka dugaan korupsi laptop chromebook, Nadiem Makarim, sudah masuk ke pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Karena itu, semua pihak yang pro maupun kontra sebaiknya menerima dan mengikuti proses hukum yang sudah berjalan.
Maruarar hanya berharap pengadilan bisa menjalankannya secara adil dan terbuka, tanpa tekanan dari pihak manapun. “Peradilan yang betul-betul independen dari pro maupun yang kontra. Asal fair dan sesuai dengan azas imparsialitas ya jalani saja,” kata Maruarar.
Proses pengadilan, kata Maruarar, akan membuktikan Nadiem bersalah seperti dakwaan jaksa, Atau justru Nadiem bisa membuktikan kalau dia tidak bersalah. “Apakah benar Nadiem tidak menerima sesuatu. Kalaupun Nadiem tidak menerima tapi sengaja memberi keuntungan pada orang lain kan tetap bersalah,” ungkap Maruarar.
Siapapun Nadiem, kata Maruarar, masyarakat tidak akan bisa menerima jika terbukti ada kerugian negara. “Karena bagaimanapun seorang pejabat negara harus tunduk pada hukum yang berlaku saat menjalankan kewenangannya. Terutama yang terkat dengan proyek-proyek seperti itu (pengadaan laptop chromebook),” jelasnya.
Dalam kasus dugaan korupsi yang nilainya sangat besar seperti yang disangkakan pada Nadiem ini, menurut Maruarar, jaksa tentu tidak main-main karena risikonya sangat besar. Terlebih jika asal tuding tanpa memiliki dasar bukti.
“Tentu mereka tidak berani mengada-ada, apalagi menciptakan satu kerugian negara yang jumlahnya fantastis dalam kasus chromebook tersebut,” papar mantan hakim konstitusi ini.
Disinggung tentang kemungkinan Presiden Prabowo akan menggunakan hak abolisi, amnesti, ataupun rehabilitasi, Maruarar mengatakan, presiden akan menggunakan hak tersebut jika memiliki dasar yang kuat. “Tentu ada dasarnya yang (presiden) menganggap ini (kasusnya) bukan tanggung jawab dia (terdakwa),” jelas Maruarar.
Namun demikian Maruarar melihat sebaiknya mempertimbangkan momentumnya. Abolisi sebaiknya diberikan ketika masih dalam proses penuntutan sampai proses persidangan sebelum putusan, sedang amnesty setelah putusan berkekuatan hukum tetap. “Kalau rehabilitasi merupakan pemulihan kepada kedudukan dan kehormatannya semula, yang tentu saja setelah putusan berkekuatan hukum, karena misal JPU dan terdakwa tidak menggunakan haknya untuk banding/kasasi,” papar Maruarar.

2 hours ago
3













































