REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian terbaru mengungkapkan aktivitas manusia mengubah sifat hutan dari penyerap karbon menjadi penghasil karbon. Studi tersebut menunjukkan hutan dan savana kayu di Afrika yang sebelumnya menyerap dan menyingkirkan karbon dari atmosfer lalu menyimpannya sebagai biomassa kini justru menjadi penghasil karbon.
Para peneliti Pusat Observasi Bumi Nasional dari University of Leicester, University of Sheffield, dan University of Edinburgh di Inggris menggunakan data satelit untuk melacak perubahan jumlah karbon yang diserap oleh pohon dan kawasan berkayu. Mereka menemukan perubahan sifat hutan ini terjadi antara tahun 2010 hingga 2017.
"Dampak dari perubahan ini sangat besar. Secara historis, hutan dan kawasan berkayu di Afrika menyerap karbon. Kini, hutan justru berkontribusi memperlebar jarak antara emisi gas rumah kaca yang telah diserap dengan target Perjanjian Paris," kata para peneliti dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal Nature, seperti dikutip dari Aljazirah, Senin (15/12/2025).
Perjanjian Paris yang disepakati 196 negara bertujuan memitigasi dampak perubahan iklim. Negara-negara penandatangan sepakat mencegah kenaikan suhu bumi mencapai 2 derajat Celsius dibandingkan rata-rata masa praindustri.
Namun, tekanan yang dihadapi hutan dan savana di Afrika telah mengurangi kemampuan mereka menyerap karbon dari atmosfer. Padahal, hutan-hutan Afrika menyerap sekitar seperlima emisi karbon dunia. Hutan tropis di Kongo, yang merupakan hutan terbesar kedua setelah Amazon, kerap disebut sebagai paru-paru Afrika.
Penelitian yang dipublikasikan di Nature itu mengungkapkan bahwa pada periode 2011 hingga 2017, hutan-hutan Afrika kehilangan sekitar 106 juta ton biomassa, yakni total massa bahan hidup terutama tumbuhan seperti pohon dan vegetasi hutan. Kehilangan ini mengurangi kemampuan hutan menyerap karbon. Republik Demokratik Kongo, Madagaskar, dan sejumlah negara di Afrika Barat tercatat sebagai wilayah dengan kehilangan biomassa hutan terbesar.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil sejak awal industrialisasi telah meningkatkan suhu bumi. Dalam konteks ini, peran hutan sebagai penyerap karbon sangat penting sebagai penyeimbang. Namun, penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk pertanian serta infrastruktur terus melemahkan kemampuan hutan dalam menyerap karbon.
"Tren yang diamati kemungkinan akan semakin buruk di masa depan akibat pertumbuhan populasi di Afrika, meningkatnya permintaan, terutama dari Asia, serta tekanan terhadap sumber daya alam seperti perluasan pertanian untuk komoditas, kayu, dan kayu bakar," kata para peneliti.
Para peneliti menyebutkan keberlanjutan tren ini sangat ditentukan oleh sikap pemerintah setempat dan cara pengelolaan sumber daya alam. Area penyerap karbon merupakan wilayah, baik di daratan maupun lautan, yang menyerap lebih banyak karbon dibandingkan yang dihasilkannya.
Di daratan, area penyerap karbon umumnya berupa kawasan dengan banyak tanaman dan pepohonan yang mampu menyerap karbon dioksida melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa serta tanah. Namun, aktivitas pertanian intensif dapat mengganggu proses tersebut.
Para peneliti juga mencatat bahwa dalam Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November lalu, disepakati inisiatif bernama Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Inisiatif ini digagas untuk memberikan imbalan ekonomi kepada negara-negara yang melindungi hutannya.
Meski demikian, dana yang terkumpul masih jauh dari target. Hingga kini, inisiatif tersebut baru berhasil menghimpun sekitar 6,5 miliar dolar AS dari sejumlah negara pendonor. Para peneliti pun mendesak komunitas global untuk lebih fokus melindungi kawasan penyerap karbon di Afrika sebagai bagian dari upaya mengatasi perubahan iklim.
"Jika tidak, dunia berisiko kehilangan penyerap karbon yang diperlukan untuk mencapai target Perjanjian Paris. Untuk memulihkan hilangnya biomassa di Afrika dibutuhkan aksi politik, ekonomi, dan sosial guna mendorong pembangunan kapasitas serta meningkatkan tata kelola kehutanan," kata para peneliti.
Namun, menurut para pakar, langkah paling penting tetaplah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
"Jika kita kehilangan hutan tropis sebagai salah satu cara memitigasi perubahan iklim, maka pada dasarnya kita harus menurunkan emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil dengan jauh lebih cepat hingga mendekati nol emisi," kata Profesor Geografi Fisik di University of Leicester sekaligus salah satu penulis laporan tersebut, Heiko Balzter.

2 hours ago
5















































