Kirim Siswa ke Barak Militer Dinilai Bukan Solusi Pendidikan, Pengamat: Prabowo Harus Turun Tangan

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai wacana pengiriman siswa bermasalah jadi program nasional ke barak militer sebagai bentuk kegagalan sistemik pendidikan nasional yang tak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan instan. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan untuk membenahi sistem pendidikan dari hulu ke hilir.

“Menurut saya mulainya harus dari presiden karena ini nggak bisa masalah pendidikan diserahkan ke Kemendikdasmen saja,” kata Ubaid saat dihubungi Republika.co.id pada Jumat (9/5/2025).

Pihaknya menjelaskan persoalan dunia pendidikan sendiri sangat pelik, pasalnya ada hubungan silang sengkarut antarkementerian. “Hubungannya dengan otonomi daerah dengan Kemendagri, dengan madrasah dengan Kemenag ada hubungannya dengan perencanaan dengan Bappenas ada hubungannya dengan politik anggaran dengan Kemenkeu gitu ada hubungannya dengan kesejahteraan Menko Kesra dan seterusnya,” kata dia.

Ubaid mencontohkan, kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa berjalan karena ada komitmen langsung dari Presiden, meski menurutnya hal itu tidak tercantum dalam peta jalan pendidikan. Ia mengatakan reformasi pendidikan pun harus mendapat prioritas serupa.

“Jadi termasuk anggaran pendidikan yang besar tidak berdampak pendidikan itu ya karena bagi-bagi kue anggaran pendidikan untuk dikorupsi gitu loh, sementara presiden tidak punya cukup political will untuk di sektor pendidikan ini gitu,” katanya.

Pihaknya juga menyoroti bobroknya dunia pendidikan Indonesia sehingga perlu dievaluasi. Mulai dari oknum guru yang melakukan katrol nilai hingga oknum dinas pendidikan yang diduga korupsi. Menurutnya hal itu adalah kesalahan sistemik.

“Iya contoh misalnya fenomena katrol nilai itu ada yang nyuruh bukan guru tiba-tiba punya ide katrol nilai gitu ada yang nyuruh supaya akreditasinya bagus gitu,” katanya.

“Ada oknum pimpinan sekolah ada oknum dinas pendidikan gitu loh ruwet sistem pendidikan kita dan menurut saya ini harus dibongkar gitu tidak kemudian kita lari lalu mencari solusi instan gitu masuk ke barak militer gitu, tapi persekolahan kita masih rusak gitu,” katanya.

Menanggapi wacana pengiriman siswa bermasalah ke barak militer secara nasional, pengamat tersebut menilai itu adalah bentuk keputusasaan institusi pendidikan dalam menjalankan perannya. “Kenapa kok guru bisa angkat tangan? Kenapa sekolah bisa angkat tangan? Itu saya pikir guru dan sekolah-sekolah itu punya mindset yang salah semuanya gitu,” katanya.

Menurutnya, tugas pendidikan adalah membentuk karakter anak. Oleh sebab itu, ia mempertanyakan apakah sekolah telah maksimal mendampingi siswa bermasalah baik secara psikologis, sosial, dan akademik sebelum menyerah dan melempar tanggung jawab ke institusi lain. Pihaknya pun menyebut bahwa ada rasio yang timpang antara jumlah guru BP dengan siswa yang ditangani.

“Misalnya anak yang tidak masuk sekolah lalu terlibat dengan geng motor, apakah anak itu pernah diajak dialog dengan sekolah? Atau anak itu pernah nggak didampingi mereka untuk bisa didengarkan pendapatnya? Apakah sekolah sudah mengupayakan ada pendampingan psikologis misalnya? Apakah sekolah sudah berupaya untuk menjembatani dengan masyarakat, dengan orang tua dan seterusnya? Kan nggak nggak pernah,” katanya.

“Sekolah-sekolah kita guru BP-nya rasionya sekarang itu satu orang itu bisa pegang 500-1.000 anak ya rasio guru BP hari ini gitu ya jadi mestinya itu yang harus dievaluasi gitu ya,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa kekerasan dan pelanggaran justru banyak berasal dari dalam institusi pendidikan sendiri. Berdasarkan data JPPI kekerasan di sekolah kerap dilakukan oleh oknum guru, sementara praktik korupsi merajalela di level dinas pendidikan.

“Katakanlah masuk ke dalam barak militer satu tahun anak sudah disiplin misalnya, balik lagi ke sekolah lalu di sekolah lihat gurunya melakukan kekerasan seksual lihat gurunya sering melakukan corporal punishment gitu jadi sebenarnya yang nakal anaknya atau gurunya?," ujarnya.

Oleh sebab itu, ia menilai pembenahan pendidikan harus dilakukan secara sistemik dan menyeluruh, dimulai dari komitmen politik tertinggi. “Mulai presiden gitu jadi komitmen presiden, itu saya bisa membayangkan dengan perbaikan sistem pendidikan kita itu ya seperti komitmen presiden terhadap MBG gitu,” katanya mengakhiri.

Read Entire Article
Politics | | | |