Hannah, Relawan Perempuan Muda Indonesia dalam Misi Kemanusiaan di Timur Tengah

2 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, Terik matahari menggantung tepat di atas Ash-Shunah al-Janubiyah, sebuah lembah yang memanjang tak jauh dari aliran Sungai Yordan. Ketika truk logistik berhenti di pelataran Islamic Charity Center Society (ICCS), debu pun ikut naik dan beterbangan. Di kiri halaman, warga berdiri teratur menanti jatah bantuan dengan sabar.  

Di ujung jalan, seorang ibu Palestina yang sudah mendapat paket bantuan, bercerita tentang perjalanannya meninggalkan Gaza. Ia bicara pelan, kadang terputus karena emosi yang menahan kata. Di samping saya, Hanna Amalia, akrab disapa Hanna, menyimak dengan saksama. Ia lalu menerjemahkan setiap kalimat dengan nada yang terukur, menjaga makna tetap utuh. Dalam setiap terjemahan, ada empati yang ikut mengalir.

Hannah bukan sekadar penerjemah. Kehadirannya memastikan kisah para penyintas perang ini tidak berhenti sebagai suara yang tertahan di tenggorokan.

Belajar dan Mengabdi di Negeri Orang

Hanna datang ke Yordania untuk menempuh pendidikan. Ia menyelesaikan studi S1 di Yarmouk University, Irbid, dengan fokus pada bahasa Arab. Perjumpaannya dengan dunia kemanusiaan dimulai pada 2021 ketika ia bergabung dengan Tim Peduli, organisasi yang aktif menyalurkan bantuan untuk warga Palestina di Yordania.

Jarak antara Irbid dan Amman tidak dekat. Namun, setiap kali dibutuhkan, ia menempuh perjalanan hampir dua jam demi membantu tugas-tugas kemanusiaan. Pada masa akhir kuliah, ia sempat vakum sementara karena harus fokus menyelesaikan studi. Namun begitu kembali, ia langsung turun ke lapangan.

“Motivasi pertama saya ketika bergabung dengan tim relawan kemanusiaan di Yordania ini awal mulanya karena minat saya yang besar terhadap kegiatan sosial dan bahasa Arab. Saya melihat ini merupakan peluang yang besar untuk saya bergabung, mengembangkan bahasa Arab saya dan menyalurkan hobi saya dalam dunia kemanusiaan atau kegiatan sosial.”

Bekal Empati dari Kamp Pengungsian

Bertemu para pengungsi membuat Hanna melihat langsung bagaimana perang meninggalkan jejak pada kehidupan orang-orang biasa. Ada yang kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan, bahkan kehilangan anggota keluarga tanpa sempat memberikan salam perpisahan.

Hannah seringkali menjadi orang pertama yang memahami cerita itu sebelum ia menerjemahkannya. Ia belajar menjaga diri tetap kuat, meski hati ikut terhimpit setiap kali mendengar kisah kehilangan.

“Dalam dunia kemanusiaan yang saya pelajari adalah bahwa setiap kita itu punya ujian yang masing-masing, punya cobaan yang masing-masing. Pasti di luar sana banyak yang lebih sulit lagi kondisinya, lebih berat lagi cobaannya. Tapi kenapa kita menjadi manusia yang rasanya paling berisik ngeluhnya? paling kuat mencaci-maki kehidupan kita sendiri, daripada menguatkan doa, menguatkan lagi ibadah, menguatkan tawakal, menguatkan lagi kepercayaan kita terhadap Tuhan. Padahal di luar sana masih banyak yang lebih merana tapi mereka tetap bisa bahagia dan iman mereka lebih kuat gitu daripada kita. Dari situ kita belajar lagi untuk meningkatkan sabara, meningkatkan rasa syukur, meningkatkan tawakal,” kata Hanna.

Tunisia: Harapan yang Tertahan di Laut

September lalu, Hanna sempat dikirim ke Tunisia untuk bergabung dengan The Global Sumud Flotilla, inisiatif internasional mengirim bantuan ke Gaza melalui jalur laut. Namun saat mereka tiba, pendaftaran untuk ikut berlayar sudah ditutup karena situasi keamanan.

Kendati demikian, keberangkatan mereka tidak sia-sia. Di Tunisia, Tim Peduli melakukan koordinasi dengan berbagai perwakilan aksi kemanusiaan internasional untuk rencana dukungan jangka panjang bagi Palestina.

“Kami sempat kecewa, tapi dalam aksi kemanusiaan kita harus siap dengan segala kondisi,” ujar Hannah.

Afghanistan: Kemanusiaan di Atas Reruntuhan

Perjalanan lain membawa Hanna ke Afganistan. Gempa besar melanda wilayah Kunar, memaksa ribuan warga tinggal di dalam tenda. Di tempat itu, Hannah bersama tim menyalurkan bantuan pangan dan kebutuhan pokok.

Di tengah reruntuhan bangunan dan tanah yang masih terasa bergetar, ia menyaksikan ketegaran para penyintas menjaga keluarga mereka tetap hidup.

“Makan bersama para pengungsi di sana menjadi momen yang membekas,” kata Hannah. “Itu mengingatkan bahwa kebersamaan bisa tetap ada meski keadaan sangat sulit.”

Ketika ditanya mengenai risiko di daerah konflik, Hannah menjawab dengan tenang. Menurutnya, setiap pekerjaan memiliki risikonya masing-masing. Yang penting adalah mengikuti prosedur dan memastikan koordinasi berjalan baik.

“Risiko pada setiap pekerjaan pasti ada ya, tapi saya pribadi mungkin tipe yang berani mengambil resiko dan excited dengan hal-hal baru, jadi semangat untuk mencobanya itu besar. Akhirnya semua rasa itu bisa mengalahkan rasa kekhawatiran pada resiko yang ada, itu yang pertama. Dan saya percaya ketika niat awalnya baik, Insya Allah kita akan dipertemukan dengan hal-hal baik, dan dijauhi dari segala hal-hal yang buruk, termasuk resiko yang ada,” tutur Hanna.

Dalam kamp-kamp pengungsi lain di Yordania, saya menyaksikan bagaimana Hanna begitu mudah menjalin percakapan dengan siapa pun. Dari anak-anak yang pemalu hingga para orang tua yang memikul banyak cerita. Ia tahu kapan harus bercanda untuk mencairkan suasana, dan kapan harus diam mendengarkan kisah penuh duka yang tertahan. Ketika kami para jurnalis hendak mewawancarai para pengungsi, Hanna selalu sigap menerjemahkan pertanyaan kami dengan bahasa yang jelas dan empatik. Ia membantu menyampaikan maksud kami tanpa menyinggung, dan menjembatani cerita-cerita yang rapuh itu agar tetap utuh tersampaikan. Kepekaannya membuat setiap percakapan tidak sekadar pengumpulan data, melainkan pertemuan manusia yang saling memahami.

Pada usia yang masih sangat muda, Hanna memilih jalan yang tidak banyak diambil generasinya. Ia mengisi masa mudanya dengan menjadi saksi dan perantara harapan bagi mereka yang terdampak konflik panjang.

Pengabdian itu membuatnya tumbuh. Ia menjadi lebih matang, lebih peka, dan lebih rendah hati. Ia tidak berharap sorotan, dan tidak ingin disebut pahlawan.

Yang ia inginkan hanya satu: hadir dan bermanfaat.

Selama masih ada orang-orang seperti Hannah yang memilih untuk tidak tinggal diam melihat penderitaan sesama, maka harapan akan selalu menemukan jalannya pulang, bahkan ke negeri yang paling terluka sekalipun.

Read Entire Article
Politics | | | |