Antara Kesalehan Individu dan Ketidakpedulian Sosial: Kritik terhadap Agama yang Hanya Ritual

3 hours ago 4

Image Hanin Hanifah

Sastra | 2025-05-19 14:27:43

Sumber foto: https://3.bp.blogspot.com/-He9N1UmRxmk/WEwgYq-d8LI/AAAAAAAACkY/7SZQAna293M3LIzJPaGVTfq0ffcWqf5pACLcB/s1600/Surau.jpg

Dalam cerpen Rubuhnya Surau Kami, A.A. Navis menyampaikan kritik yang tajam terhadap praktik keberagamaan yang hanya berfokus pada urusan pribadi tanpa kepedulian terhadap persoalan sosial. Cerita ini bukan sekadar menampilkan kehancuran fisik sebuah surau, melainkan menjadi simbol dari runtuhnya nilai-nilai agama yang seharusnya dijalankan secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui gaya naratif yang sederhana namun kuat, Navis menyoroti fenomena keberagamaan yang hanya sibuk dengan ritual, tapi tidak hadir dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Tokoh sentral dalam cerpen ini adalah seorang lelaki tua yang hidupnya dihabiskan untuk beribadah di surau. Ia dikenal sebagai pribadi yang taat, menjauhkan diri dari dunia dan hanya fokus mengejar pahala untuk akhirat. Namun, ironi muncul ketika di akhir cerita, setelah surau tempat ia beribadah dirubuhkan dan ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, ia justru digambarkan masuk neraka. Alasan yang diberikan oleh malaikat sangat mengejutkan: sepanjang hidupnya, ia tidak pernah berbuat sesuatu yang berarti untuk orang lain. Ia tidak terlibat dalam usaha memperbaiki kondisi masyarakatnya dan hanya sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Melalui kisah ini, Navis ingin menegaskan bahwa ibadah tidak boleh dimaknai hanya sebagai aktivitas spiritual individual. Agama seharusnya tidak dilepaskan dari tanggung jawab sosial. Tokoh kakek dalam cerita ini memang terlihat saleh, namun kesalehannya tidak memberikan manfaat bagi lingkungannya. Ia menjadi simbol dari kelompok masyarakat yang tenggelam dalam rutinitas keagamaan, namun tidak menunjukkan empati terhadap ketimpangan sosial, kemiskinan, atau ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya.

Navis juga menyinggung fenomena masyarakat yang terlalu membanggakan identitas agama, namun minim aksi nyata dalam membantu sesama. Ia menyindir bagaimana sebagian orang lebih peduli terhadap kesucian simbol agama seperti surau, dibandingkan memperjuangkan nasib orang miskin atau menegakkan keadilan. Surau dalam cerita ini menjadi lambang kekosongan makna beragama ketika nilai-nilai sosialnya tidak dijalankan.

Bagian akhir cerpen ini sangat kuat secara simbolik. Dengan gaya satir, Navis menggugah pembaca untuk merefleksikan kembali makna sejati dari religiusitas. Ia mempertanyakan, apa artinya kesalehan jika tidak ada aksi nyata untuk memperbaiki kehidupan sosial? Apakah surga masih relevan bagi orang yang tidak pernah berbuat baik pada sesama?

Cerpen ini mengajak pembaca untuk tidak terjebak dalam keberagamaan yang hanya bersifat simbolik dan ritualistik. A.A. Navis melalui Rubuhnya Surau Kami menekankan bahwa kesalehan sejati tidak hanya terlihat dari rutinitas ibadah, tetapi dari kepedulian terhadap keadilan, kemanusiaan, dan kondisi sosial masyarakat. Dalam konteks ini, agama seharusnya menjadi kekuatan untuk perubahan sosial, bukan sekadar urusan antara individu dan Tuhannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |