Luka Batin Peradaban: Kolonialisme dalam Novel Salah Asuhan

4 hours ago 3

Image Kholifatunnisa Assholihah

Sastra | 2025-05-14 21:14:05

Foto oleh Mehmet Turgut Kirkgoz dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/jalan-duduk-muda-belum-tua-13981421/

Karya sastra merupakan hasil karya yang diciptakan oleh seseorang dengan menggunakan bahasa sebagai media ekspresi. Karya sastra dapat berupa puisi, cerpen, novel, drama, dan sebagainya. Melalui karya sastra, penulis dapat menyampaikan berbagai ide, pemikiran, dan perasaan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat menjadi cerminan dari kondisi sosial, budaya, dan politik pada saat karya tersebut diciptakan sesuai zamannya.

Novel Salah Asuhan terbit pertama kali di Balai Pustaka tahun 1928 dengan pengarang Abdoel Moeis. Secara tematik, novel ini tak lagi mempersalakan adat kolot yang tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman tetapi coba mengangkat tema pernikahan antarbangsa yang menimbulkan banyak persoalan.

Abdoel Moeis lahir tangal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Layaknya orang-orang Minangkabau lainnya, sejak remaja Abdoel Moeis merantau ke Pulau Jawa hingga tutup usia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia wafat meninggalkan dua orang istri dan 13 orang anak.

Teori kolonialisme dalam kajian prosa merupakan kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisis bagaimana kolonialisme tercermin dalam karya sastra, termasuk dalam novel salah asuhan. Dengan menggunakan teori ini, dapat melihat bagaimana relasi kuasa antara kolonial dan kolonisasi ditampilkan dalam narasi dan karakter dalam novel tersebut. Melalui pendekatan ini, kita dapat menggali lebih dalam lagi tentang kompleksitas hubungan antara kolonialisme tokoh utama (Hanafi) dan sastra, serta bagaimana hal tersebut memengaruhi pembentukan identitas dan kekuatan dalam karya sastra.

Maka berikut beberapa percakapan dalam noevl Salah Asuhan yang mengandung unsur kolonialisme:

“Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain, karena penyakit 'kesombongan bangsa' itu juga. Orang Barat datang kemari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang di sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil 'nyai' dari sini. Jika 'nyai' itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seseorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini.

Terlebih dahulu nyonya itu dipandang ellya seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; madan dikatakan sudah 'membuang diri' kepada orang sini. Di ya, dalam undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja sudah tidak dengan sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seo seorang bangsa Bumiputra yang minta dipersamakan haknya dengan Eropa, selama-lamanya tidak boleh menghilangkan lagi hak itu dan kembali menjadi Bumiputra pula, karena tidaklah ada sesuatu pasal di dalam undang-undang, yang boleh menggugurkan haknya sebagai orang Eropa. Tapi seseorang perempuan bangsa Eropa, yang kawin dengan orang Bumiputra, selama di tangan suaminya itu, akan kehilangan haknya sebagai orang Eropa. Terlebih hina kedudukannya di dalam pergaulan bangsa Eropa sendiri Jika nyonya itu sampai beranak, dipandang, bahwa ia turut mengurangi derajat bangsa Eropa. Terasalah olehmu, Corrie perbedaan antara kedua perkawinan itu?" (Moeis, 2011:17)

“Itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu, di sini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi. Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu dipergaduh-gaduhkan dari luar buat menjadi suami istri. Itulah yang menarik hatiku pada adat orang Belanda. Pada kecilnya yang menjadi keluarganya hanyalah; ayah-bundanya, adik-kakaknya. Setelah ia besar, dipilihnya sendiri buat istrinya; dan ayah-bundanya, apalagi mamak bilainya atau ‘tua-tua di dalam kampung ‘harus menerima saja pilihannya itu jika tidak berkenan—boleh menjauh! Dan setelah beristri, bagi orang itu yang menjadi keluarga ialah, istrinya dan anak-anaknya saja. Tapi kita di sini kebat- mengebat, takluk-menaklukkan, tanya-menanya dengan tidak ada hingganya. Sebelum beristri, dalam beristri, hendak bercerai, tidak putus-putuslah kita dari pencampuran orang-orang lai yang belum tentu berhati tulus kepada kita” (Moeis 2011: 35).

“ Selama aku sekolah, mamakku turut-turut menunjang belanjaku itu dengan uang, dengan tidak setahuku. Dengan tidak setahuku pula, ibuku sudah menggadaikan aku pada mamak itu, artinya setamat aku sekolah, buat membayar utangku itu, Engku Sutan Batuah ada hak buat mengambil aku menjadi menantunya ” (Moeis, 2011: 131).

“Bunda! Dengan persamaan kepada bangsa Belanda itu anak anda seolah-olah sudah keluar dari bangsa dan dari ‘payung’ kita. Katakanlah kepada orang-orang di kampung bahwa gelarku ‘Sutan Pamenan’ sudah kuletakkan dan hendaklah mereka mengisarkannya kepada yang lain. di dalam segala ‘hitungan di kampung’ anak anda tak usah dibawa-bawa lagi, karena dengan rela hati anakan da sudah keluar dari adat dan dari bangsa. Hanya satulah yang tidak akan putus, yaitu antara anak anda dengan ibu, tentu tidak akan berubah- ubah keadaannya” (Moeis, 2011: 158)

“Ya itu agak susah, tapi menunjuk aturan di Minangkabau lebih berhak mamak-mamaknyadaripada ayahnya. Tambahan lagi anak itu belum berumur setahun.” (Moeis, 2011: 133)

“Bangsaku, demikian juga bangsamu sendiri, sekali-kali tidak menerima perkawinan serupa itu, dan oleh karena engkau berdua memaksa melakukannya juga, dengan tidak mengindahkan perasaan orang lain, maka mereka menunjukkan kemasygulannya, dengan menyisihkan buta engkau dari pergaulannya.” (Moeis, 2011: 263)

Tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, merupakan potret Malin Kundang di abad 20. Persoalan melintas anak bangsa yang mudah tergiur budaya Barat dan merupakan budaya aslinya seperti dalam Salah Asuhan, masih relavan untuk dibicarakan hingga hari ini. Bukankah persoalan itu yang kita hadapi saat ini?.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |