Ketika Metodologi Bukan Sekadar Teknik, Tapi Jalan Menuju Maqashid Syariah

4 hours ago 2

Image Azrillia Nurul Sabila

Agama | 2025-05-05 16:34:01

(Sumber Gambar: Pinterest)

Bagi banyak orang, kata “metodologi” mungkin terdengar kaku—terlalu teknis, akademik, dan bahkan membingungkan. Ia sering dipersempit menjadi sekadar alat riset: apakah kita akan menggunakan survei, studi kasus, atau statistik? Namun dalam ekonomi Islam, metodologi punya posisi yang jauh lebih sakral: ia adalah jembatan antara ilmu dan nilai, antara data dan doa, antara akal dan wahyu.

Maqashid dan Nilai dalam Riset Ekonomi

Dalam kerangka ekonomi Islam, tujuan akhir dari aktivitas ekonomi bukan sekadar efisiensi atau pertumbuhan, tapi maslahat—kesejahteraan holistik yang berakar dari prinsip maqashid syariah. Lima nilai utama maqashid—menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—bukan hanya prinsip moral, melainkan panduan untuk membangun sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

Lalu apa hubungannya dengan metodologi?

Jawabannya: besar sekali. Ketika para ekonom Islam menyusun metode riset, mereka tak hanya memikirkan validitas data, tapi juga kehalalan proses. Misalnya, dalam mengukur kesejahteraan, pendekatan konvensional seringkali hanya mengandalkan indikator GDP atau tingkat konsumsi. Namun menurut Choudhury (2015) dalam Islamic Economics and Finance: An Epistemological Inquiry, indikator ekonomi Islam perlu mencakup keseimbangan spiritual, distribusi kekayaan, dan keadilan sosial.

Antara Teknik dan Etika
Metodologi ekonomi Islam tidak bisa berdiri netral. Ia harus berbasis pada epistemologi tauhid, sebagaimana dikembangkan oleh pemikir seperti Masudul Alam Choudhury dan Umer Chapra. Menurut mereka, sebuah riset ekonomi harus berangkat dari nilai wahyu, lalu dianalisis dengan akal, dan diakhiri dengan solusi yang menciptakan maslahat, bukan sekadar efisiensi.

Ini berbeda dari pendekatan sekuler, yang sering kali memisahkan ilmu dari nilai. Di sinilah letak tantangan terbesar: menyatukan antara logika ilmiah dan komitmen spiritual.

Sebagian mungkin bertanya: apakah bisa objektif kalau kita membawa nilai agama ke dalam riset? Tapi justru di sinilah letak keunggulan ekonomi Islam—ia mengakui bahwa manusia bukan makhluk netral. Keputusan ekonomi selalu dipengaruhi oleh nilai, dan Islam memberikan kerangka nilai yang sistematis untuk itu.

Riset sebagai Jalan Menuju Keberkahan
Namun, praktiknya tidak selalu mudah. Banyak penelitian yang mengaku “ekonomi Islam” tapi tetap memakai metodologi Barat tanpa penyesuaian nilai. Ini seperti mengganti baju tapi memakai tubuh yang sama. Ismail Raji al-Faruqi bahkan menyebutnya sebagai "de-Islamization of knowledge in disguise"—proses sekulerisasi terselubung yang tak disadari.

Karena itu, perlu ada upaya serius untuk membangun metodologi ekonomi Islam yang otentik, bukan hanya dari sisi teori, tapi juga implementasi. Termasuk dalam kurikulum kampus, jurnal ilmiah, hingga lembaga riset.

Penelitian dalam ekonomi Islam seharusnya tidak hanya menjawab pertanyaan “apa yang terjadi”, tapi juga “apakah ini sejalan dengan maqashid?”. Sehingga, setiap angka, tabel, dan grafik bukan hanya data mati, melainkan bagian dari ikhtiar untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat.

Akhirnya, meneliti dalam kerangka ekonomi Islam bukan sekadar tugas akademik, tapi juga ibadah. Metodologi yang kita pilih bisa menjadi jalan menuju ridha Allah—selama ia dibangun dengan kejujuran, nilai, dan semangat membawa maslahat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |