Salma Nurul14
Ekonomi Syariah | 2025-05-05 20:26:55
Pasar bukan sekadar tempat jual beli. Ia adalah cermin dari peradaban. Bagaimana orang berdagang menunjukkan bagaimana mereka melihat sesama manusia: sebagai rekan atau mangsa. Dalam Islam, pasar adalah ladang pahala, bukan ajang tipu daya. Sayangnya, di zaman ini, pasar sering kehilangan ruhnya—terlalu banyak timbangan yang berat sebelah dan kejujuran yang menguap.
Pasar dalam Islam: Bebas Tapi Bermoral
Islam tidak membatasi perdagangan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW adalah pedagang yang jujur sebelum diangkat menjadi rasul. Namun Islam menetapkan batas: pasar boleh bebas, asal tak membahayakan.
Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Nabi bersabda: “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan fasik, kecuali orang yang bertakwa, jujur, dan amanah.”
Pasar Madinah pernah ditata langsung oleh Nabi. Beliau membiarkan pasar berjalan tanpa pajak dan intervensi harga, tetapi melarang keras praktik curang. Beliau menolak siapa pun yang ingin memonopoli dan menumpuk barang demi menaikkan harga.
Dalam Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan (2020), disebutkan bahwa prinsip dasar pasar Islam mencakup: transparansi informasi, larangan gharar (ketidakjelasan), riba, dan ihtikār (penimbunan). Dengan kata lain, pasar Islam menuntut pelaku ekonomi untuk bermoral, bukan sekadar mencari untung.
Sedangkan dalam Jurnal Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Vol. 10 No. 2, 2018), dijelaskan bahwa mekanisme pasar dalam Islam bersifat price-oriented tetapi dibatasi oleh nilai moral dan akhlak. Penulis menyimpulkan bahwa kebebasan pasar tidak bersifat absolut, karena keadilan dan kemaslahatan umum menjadi landasan utamanya.
Saat Etika Ditindas Angka
Sayangnya, prinsip itu sering hilang di dunia nyata. Hari ini, banyak pedagang dan pelaku bisnis berlomba dalam “strategi harga” yang terkadang menipu: diskon palsu, mark-up fiktif, atau rating toko yang dibeli demi meyakinkan pelanggan.
Contoh nyata terjadi dalam dunia e-commerce. Sebuah laporan dari Kementerian Perdagangan RI (2022) mengungkapkan bahwa sebagian besar konsumen pernah tertipu oleh iklan produk yang tidak sesuai kenyataan. Dalam ekonomi Islam, hal seperti ini jelas masuk dalam kategori gharar atau penipuan.
Kasus lain, penimbunan masker dan oksigen saat pandemi COVID-19. Banyak oknum menaikkan harga berkali lipat demi keuntungan pribadi. Dalam Islam, ini bukan strategi, melainkan pengkhianatan. Nabi bersabda: “Barang siapa yang menimbun barang, maka ia telah berdosa” (HR. Muslim).
Islam Tak Takut Pasar, Tapi Menyucikannya
Salah satu kekeliruan besar adalah menganggap sistem Islam anti pasar. Padahal, Islam justru meletakkan dasar mekanisme pasar yang lebih adil. Dalam kerangka syariah, perdagangan bukan perang harga, tapi kerja sama untuk saling memenuhi kebutuhan.
Islam mengenal konsep hisbah—pengawasan pasar yang tidak menindas tapi menjaga keadilan. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, para pedagang diawasi agar tidak berbuat curang. Bahkan ada petugas khusus yang mengontrol timbangan dan melarang praktik licik.
Hari ini, kita bisa belajar dari model itu. Dalam Jurnal Muamalah dan Ekonomi Syariah (2021), para peneliti menyoroti pentingnya membentuk sistem kontrol harga dan informasi yang sehat di marketplace modern, agar semangat Islam tetap hidup meski dalam bentuk digital.
Hal ini dikaji pada studi dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management (2020) menunjukkan bahwa prinsip pasar Islam seperti transparansi dan larangan eksploitasi konsumen dapat diterapkan dalam sistem perdagangan digital saat ini, khususnya dalam mengatur iklan, ulasan produk, dan kejelasan akad dalam marketplace.
Pasar yang Berkah, Dagang yang Jujur
Pasar adalah bagian dari hidup. Tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Apakah sebagai tempat berburu untung dengan cara apa pun? Atau sebagai ruang mencari rezeki yang halal dan penuh keberkahan?
Di antara timbangan dan kejujuran, Islam menawarkan jalan tengah: pasar yang bebas tapi bertanggung jawab. Karena rezeki bukan hanya soal angka di rekening, tapi juga tentang keberkahan yang menyertainya.
Jika kita mau kembali pada prinsip Islam dalam berdagang—jujur, terbuka, dan tidak zalim—maka pasar bukan lagi tempat yang menakutkan, tapi ladang pahala dan sumber kedamaian ekonomi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.