taufik sentana
Sastra | 2025-05-18 22:12:26
Puisi "Rihlah" karya Taufik Sentana adalah sebuah mahakarya kecil yang menangkap kegelisahan fundamental manusia di tengah arus deras kemajuan dan disorientasi modern.
Dengan latar belakang kepenulisan Taufik Sentana yang kerap menggali esai-esai sosial, puisi ini hadir sebagai kristalisasi puitis dari tinjauan tajam terhadap kondisi kontemporer, dibalut nuansa filsafat modern yang getir namun mendalam.
Puisi dibuka dengan pengakuan yang menghantam, "Kemajuan industri membuat dadaku remuk". Ini bukan sekadar keluhan personal, melainkan diagnosis awal tentang dampak dehumanisasi dari mesin kemajuan yang seringkali abai terhadap dimensi batin.
Sang penyair segera membawa kita pada citra "terhipnotis harapan palsu", yang diekspresikan melalui metafora kuat "anggur yang beracun dari penyanyi malam". Baris-baris ini melukiskan godaan fatamorgana modernitas – kenikmatan sesaat, hiburan dangkal, janji-janji hampa – yang berujung pada tragedi personal: "menjadi tangisan dalam parade kebodohan".
Gambaran itu adalah masyarakat kita yang terjebak dalam konsumerisme atau ilusi kemajuan artifisial, menari dalam pesta kebodohan (pasca kebenaran) yang dipertontonkan.
Lompatan ke bagian kedua puisi membawa kritik ke tingkat struktural: "Skema dunia dan platform, peta jalan pascaindustri yang ditulis oleh pemenang". Ini adalah sindiran pedas terhadap narasi dominan, cetak biru global yang disusun oleh kekuatan hegemonik-kapitalistik, yang seringkali tidak menyisakan ruang bagi kearifan lokal atau kemandirian berpikir.
Konsekuensinya fatal: "membuat kita lupa". Lupa pada apa? Lupa pada esensi diri dan kebutuhan mendasar untuk mengarungi eksistensi dengan penuh kesadaran. Penekanan pada apa yang dilupakan adalah inti dari panggilan filosofis puisi ini: "membangun mercu suar kognisi".
Metafora ini begitu brilian; di tengah samudra informasi dan disinformasi, kita lupa membangun menara pandang internal – kemampuan berpikir kritis, kesadaran diri, dan pemahaman mendalam.
Kita lupa "menjelajahi ruang ruang tak bertepi" (potensi diri, alam semesta gagasan), "menyusun kodefikasi" (mengorganisir makna dan pengetahuan), serta "mencatat kembali navigasi budaya" (mempertahankan akar dan kearifan tradisi di tengah gempuran globalisasi).
Puisi ini ditutup dengan citra penutup yang memilukan sekaligus sangat relevan. "di tengah amuk gelombang digital tanpa nakhoda". Frasa ini merangkum kondisi disorientasi kolektif di era digital yang serba cepat dan chaotic, saat informasi melimpah namun arah dan kendali seringkali hilang.
Tanpa "mercu suar kognisi" dan "navigasi budaya", kita hanyut dalam badai informasi tanpa kemampuan untuk menentukan haluan.
Simpulan: "Rihlah" adalah sebuah perjalanan batin yang getir namun jujur. Taufik Sentana menggunakan bahasa yang padat dan menggugah, penuh dengan metafora yang kuat, untuk menyampaikan kritik sosial dan renungan eksistensial.
Puisi ini tidak hanya mencerminkan kekhawatiran seorang penyair, melainkan juga resonansi filosofis tentang arti kemajuan sejati, bahaya ilusi, dan pentingnya menjaga kesadaran serta identitas di era yang penuh gejolak.
Ini adalah karya yang patut direnungkan, sebuah pengingat akan urgensi untuk kembali menjadi nakhoda atas 'pelayaran' kognisi dan budaya kita sendiri di tengah 'amuk gelombang' modernitas.
dok.taqiya.abar
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.