Midah dan Emas yang tak Pernah Berharga di Mata Dunia

2 hours ago 1

Image Faranida Aulia Rahmah

Sastra | 2025-05-08 08:54:32

Potret pribadi mempunyai buku novel Midah Simanis Bergigi Emas

Pramoedya Ananta Toer punya cara unik untuk menuliskan perempuan. Ia tidak pernah membuat mereka lemah, bahkan ketika dunia memaksa mereka tunduk. Dalam Midah: Si Manis Bergigi Emas, Pram memperkenalkan kita pada tokoh perempuan yang secara diam-diam melawan: bukan dengan pedang atau protes lantang, tapi dengan tetap hidup dan bertahan sebagai dirinya sendiri.Midah bukan pahlawan, tapi ia juga bukan korban. Ia lahir dari rahim kemiskinan, tumbuh di tengah kota yang dipenuhi suara keroncong, aib, dan gosip murahan. Tapi Midah punya sesuatu yang tak semua orang miliki: keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri, bahkan ketika masyarakat ingin mencabut itu darinya. “Midah manis bergigi emas. Ia bisa tersenyum di tengah nista.”

Kalimat ini seperti jiwa dari novel tersebut. Pram menyematkan gigi emas bukan hanya sebagai hiasan fisik, tapi sebagai simbol ironi: sesuatu yang dianggap indah, tapi justru memancing penghinaan.Midah adalah anak penari ronggeng. Dalam masyarakat yang mengaku menjunjung tinggi moral, profesi seperti itu langsung dicap najis. Sejak kecil, Midah diwarisi cap buruk: anak perempuan dari perempuan “tak benar.”

Tapi ia tidak meminta lahir dari siapa. Ia hanya mencoba hidup, sebisa mungkin tidak menyakiti siapa pun.Namun masyarakat terlalu cepat menghakimi. Midah ditolak ayahnya sendiri karena dianggap mewarisi “darah seni” dari ibunya. Di sinilah Pram menelanjangi kemunafikan moral kolektif: masyarakat mencibir ronggeng dan penari, tapi diam-diam menikmati pertunjukannya.“Yang disebut aib, kadang hanya karena tak cocok dengan selera kaum tua.”

Midah tumbuh dewasa, cantik dan lembut, tapi di mata masyarakat ia tetap bayangan masa lalu yang ingin dilupakan. Cintanya ditolak. Martabatnya diragukan. Dan ketika ia menikah dengan tokoh "aku", suaminya pun tak luput dari bisik-bisik kejam.Tokoh “aku” dalam novel ini—seorang pria muda dengan idealisme setengah matang—mencintai Midah karena kelembutan dan keteguhannya. Tapi cinta, dalam dunia Pramoedya, tak pernah steril dari luka sosial. Bahkan cinta pun bisa menyerah. “Ia bukan perempuan lemah. Justru aku yang tak kuat berdiri di sampingnya.”

Inilah potongan paling getir dari kisah ini. Midah tak pernah benar-benar diberi kesempatan. Ia terlalu kuat untuk dianggap perempuan baik-baik, tapi juga terlalu lembut untuk jadi perempuan bebas. Ia terjepit di antara dua dunia: adat yang kaku, dan modernitas yang belum ramah pada perempuan.Yang membuat Midah menyentuh adalah karena Pram tak pernah membuatnya heroik secara dramatis. Midah tidak orasi. Ia tidak melawan dengan slogan. Tapi ia bertahan. Ia memilih hidup, meski dengan cara yang paling sederhana: tak membenci siapa pun, dan tak mengingkari dirinya. “Midah hidup dari hati, bukan dari rencana.”

Dalam dunia hari ini—yang penuh tuntutan untuk jadi kuat, produktif, dan ‘bernilai’—Midah mengajarkan bahwa keberanian juga bisa datang dari kelembutan. Dari kesediaan untuk tetap hidup tanpa harus membalas. Dari kekuatan untuk tidak berubah demi validasi orang lain.Novel ini juga bicara tentang kelas sosial. Midah tak hanya dihina karena ibunya penari, tapi juga karena ia miskin. Gigi emasnya bahkan dianggap seperti “hiasan murahan” oleh mereka yang merasa lebih tinggi. Padahal, gigi emas itu bisa saja satu-satunya warisan yang ia punya—tanda bahwa di dunia yang keras, ia tetap mencoba tampil anggun.Dan bukankah kita juga masih hidup di dunia yang begitu? Di mana perempuan yang terlalu “cantik”, terlalu “ramah”, atau terlalu “independen” masih dicurigai niatnya.

Di mana masa lalu seseorang lebih cepat menyebar daripada upayanya untuk berubah.Di balik senyum bergigi emas itu, Midah membawa pertanyaan besar: seberapa jauh seorang perempuan boleh menjadi dirinya sendiri sebelum dunia memaksanya tunduk?Buku ini tidak menawarkan jawaban. Tapi Pramoedya, lewat Midah, seperti berbisik: jika dunia terlalu kejam untukmu, tetaplah berjalan, meski pelan. Karena terkadang, bertahan adalah bentuk perlawanan yang paling jujur.Dan seperti Midah, kita semua sedang belajar menyulam hidup dari serpihan—dan mencari makna bahkan dari luka yang dianggap tak penting oleh orang lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |