Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, dukung pengentasan kemiskinan ekstrem menyebut kehadiran Tambang Nikel di Raja Ampat rusak pariwisata.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Senator Papua Barat, Dr Filep Wamafma menanggapi keresahan hingga sikap penolakan masyarakat adat terhadap keberadaan banyak tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Pasalnya, Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai ikon pariwisata sekaligus pusat konservasi ini, diduga tengah mengalami ancaman serius dengan semakin maraknya tambang nikel.
“Kita memahami resistensi masyarakat adat yang semakin merasa khawatir atas potensi ancaman bagi lingkungan dan juga ruang hidupnya,” kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Dia mengatakan, dalam lima tahun terakhir, ekspansi IUP nikel di Raja Ampat melonjak drastis, dengan penambahan wilayah konsesi seluas 494 hektare.
Maka muncul reaksi masyarakat adat Suku Betew dan Maya dari 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, menyatakan penolakan terhadap aktivitas tambang di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun itu. Bahkan aspirasi ini sudah sampai ke DPRD pada 24 Maret 2025.
Bila dicermati, kata dia, alasan penolakan ini adalah karena areal konsesi tambang itu disebut merupakan wilayah adat dan kawasan hutan lindung sehingga aktivitas bisnis ekstraktif tambang nikel dikhawatirkan akan menggunduli hutan, merusak dan mencemari lingkungan sekitar dan ekosistem laut. “Tentu, hal ini patut kita perhatikan,” katanya lagi.
BACA JUGA: Negara Islam yang Ditakuti Israel Ini Peringkat ke-4 Hasil Tes IQ Tertinggi Dunia
Diketahui, setidaknya terdapat empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk dengan IUP seluas 13.136 hektare di Pulau Gag (6.060 ha darat, 7.076 ha laut). Lalu, PT Kawei Sejahtera Mining yang memiliki IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawei dengan masa izin 2013–2033.
Ada juga PT Anugerah Surya Pratama yang menguasai IUP seluas 9.365 hektare di Pulau Manuran dan Waigeo dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) yang memiliki IUP seluas 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, dan sudah mulai melakukan survei dan pengambilan sampel sejak September 2024.