REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Panitia Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid menyinggung polemik konsesi tambang yang kini menjadi simpul konflik besar di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Ia menegaskan, kebijakan tersebut bertolak belakang dengan teladan dan dawuh Gus Dur yang selalu menempatkan NU sebagai kekuatan masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan.
Dalam sambutannya pada Haul Gus Dur ke-16, Alissa mengingatkan bahwa selama kepemimpinan Gus Dur, NU tidak pernah diberi privilese kekuasaan, apalagi dalam bentuk konsesi ekonomi seperti tambang.
"Jangankan merayu dengan memberi konsesi tambang, Gus Dur justru sebagai presiden mengingatkan warga NU bahwa NU harus terus kritis kepada penguasa,” ujar putri sulung Presiden ke-4 RI itu di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025) malam.
Alissa menyebut, Gus Dur kerap mengingatkan agar NU tidak terjebak pada kedekatan dengan elite politik dan kekuasaan. Ia mengutip pidato Gus Dur yang menohok, “Sejak kapan NU ingat bupati dan lupa kepada Allah SWT? Hati saya menangis.”
Menurut Alissa, pernyataan itu menunjukkan kegelisahan Gus Dur terhadap kecenderungan sebagian elite NU yang berpotensi menjauh dari nilai-nilai perjuangan.
“Dan sekarang kita melihat bahwa konsesi tambang menjadi simpul konflik besar pada kepemimpinan NU. Padahal Gus Dur menegaskan bahwa para kiai dan nyai NU tidak memikirkan keadaan mereka sendiri, tetapi selalu memikirkan keadaan bangsa,” ucap Alissa.
Ia menekankan, dawuh Gus Dur sangat jelas bahwa NU harus menjaga posisi sebagai bandul keseimbangan kekuasaan. Menurutnya, prinsip "tasarruful imam ‘ala ra’iyyah manuthun bil maslahat" menjadi fondasi yang tak boleh ditinggalkan.
"Dawuh Gus Dur, kekuatan NU ada pada tradisi warganya yang selalu siap memberikan segala-galanya kepada negara," kata Alissa.
Dalam sambutannya, Alissa juga mengaitkan semangat Gus Dur dengan berbagai persoalan kebangsaan mutakhir, mulai dari konflik Papua, kriminalisasi petani, hingga nasib masyarakat adat yang kerap menjadi korban pembangunan.
Menurutnya, Gus Dur selalu hadir membela kelompok yang terpinggirkan dan menolak penindasan atas nama pembangunan.
“Ketika kita melihat nasib orang-orang kecil dan masyarakat adat, kerap menjadi korban pembangunan, kita pasti ingat Gus Dur yang dulu menunjukkan keteladanan dengan terus membersamai mereka,” jelasnya.
Haul Gus Dur tahun ini mengusung tema “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”, yang menurut Alissa merupakan intisari demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur sepanjang hidupnya. Tema ini sekaligus menjadi ajakan kepada pemerintah, elite politik, dan khususnya NU, untuk kembali mengingat amanah besar yang diemban.
Alissa berharap, para pemimpin NU dapat tersadar dan kembali meneladani warisan moral para muassis dan masyayikh NU.
“Kami ingin mengajak, bapak ibu sekalian, ingin mengajak pemerintah dan penyelenggara negara, kami ingin mengajak elit politik dan khususnya kami ingin mengajak NU, Jamiyyah Nahdlatul Ulama untuk mengingat kembali hal ini,” tuturnya.
Haul Gus Dur ke-16 juga diisi dengan berbagai rangkaian kegiatan, termasuk Khatmil Quran di 16 titik, serta kehadiran tokoh-tokoh bangsa yang dinilai konsisten membela keadilan dan kemanusiaan.
Beberapa tokoh yang hadir d iantaranya, KH dr Umar Wahid, Mahfudz MD, Prof Nasaruddin Umar, Buya Husein Muhammad, KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), Lukman Hakim Saifuddin, KH A. Mu’adz Thohir, Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi, serta Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Hadir juga Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamuddin. Bahkan, haul ini juga dihadiri tokoh agama lain, seperti Romo Kardinal Ignatius Suharyo Hadjoatmodjo dan Gomar Gultom.

5 hours ago
5













































