REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyarankan tiga langkah strategis untuk merespons tekanan global, terutama menyusul kebijakan tarif 19 persen dari Amerika Serikat terhadap produk Indonesia. Ketiganya meliputi ekspansi pasar ekspor, penciptaan iklim investasi yang kondusif, dan diversifikasi produk ekspor.
Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan, dominasi impor dari lima negara besar, khususnya China, memperlihatkan ketergantungan yang tinggi terhadap produk luar negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, nilai impor dari China tercatat sebesar 73,85 miliar dolar AS, disusul oleh Singapura (21,53 miliar dolar AS), Jepang (14,98 miliar dolar AS), Amerika Serikat (12,02 miliar dolar AS), dan Malaysia (10,92 miliar dolar AS).
“Kelima negara tersebut berkontribusi sebesar 56,68 persen dari total nilai impor Indonesia dan sebagian besar didominasi oleh bahan baku dan barang penolong,” kata Esther dalam Diskusi Publik INDEF: "Tarif Amerika Turun, Indonesia Bakal Untung?" yang diikuti secara daring, Senin (21/7/2025).
Adapun nilai impor bahan baku/penolong Indonesia mencapai 170,7 miliar dolar AS, sementara impor nonmigas totalnya mencapai 198,9 miliar dolar AS. Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan hasil kesepakatan dagang dengan Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Selasa, 15 Juli 2025. Dalam pernyataan resminya, Trump menyebut tarif yang dikenakan terhadap produk Indonesia ditetapkan sebesar 19 persen.
Sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia akan meningkatkan impor beberapa komoditas asal AS seperti kedelai, kapas, dan minyak mentah. Langkah ini ditujukan untuk menekan defisit perdagangan AS, namun pemerintah menjamin hal tersebut tidak akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Merespons kondisi ini, Esther menekankan perlunya strategi diversifikasi pasar dan produk agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar negara besar. “Indonesia harus aktif memperluas akses pasar dan diversifikasi tujuan ekspor, sehingga tidak hanya bergantung pada satu atau dua negara besar,” ujarnya.
Ia juga mencontohkan kebijakan tarif tinggi era Trump yang sebelumnya naik dari 10 persen menjadi 32 persen, lalu turun menjadi 19 persen saat ini. "Artinya kita jangan sampai tergantung pada pasar negara lain. Sebanyak mungkin kita harus menciptakan diversifikasi pasar ekspor,” tegasnya.
INDEF juga mendorong perbaikan iklim investasi agar sektor industri lebih bergairah dan menghasilkan produk bernilai tambah. “Investasi yang masuk akan mendorong hilirisasi dan nilai tambah ekspor kita. Tapi syaratnya, iklim investasi harus benar-benar mendukung,” kata Esther.
Strategi ketiga adalah diversifikasi produk ekspor. Menurutnya, Indonesia tidak bisa terus mengandalkan komoditas lama. Perlu ada inovasi produk agar lebih kompetitif dan tahan terhadap dinamika pasar global.
“Jangan hanya itu-itu saja yang diekspor. Perlu diperbanyak variasi produk ekspor,” ujarnya.
Esther juga menyebut Vietnam sebagai contoh negara yang sukses memanfaatkan momen perang dagang AS–China. Pada 2019, Vietnam menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dari pergeseran rantai pasok global akibat tarif tinggi.