Catatan Cak AT: Etika Bill Gates Mengetuk Pintu Istana

6 hours ago 3
 Dok. RUZKA INDONESIA) Foto ilustraai Catatan Cak AT: Etika Bill Gates Mengetuk Pintu Istana. (Foto: Dok. RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bayangkan Anda sedang duduk santai di beranda rumah, menyeruput teh sambil menikmati hujan sore. Tiba-tiba, datang seorang pria asing, tajir melintir, membawa suntikan, biji-bijian rekayasa genetik, dan sekantong tepung ulat. “Selamat sore, saya Bill Gates. Boleh saya eksperimen sedikit di sini?”

Dan seperti itulah suasana hati sebagian rakyat Indonesia pekan ini, ketika raja software, Bill Gates —yang dikenal karena Windows-nya dulu sering crash— kini datang ke Istana Negara.

Tapi kali ini bukan untuk memperbaiki komputer Presiden, melainkan membawa janji penyembuhan TBC dan kemungkinan investasi triliunan.

Ia tidak datang sendiri, tapi didampingi oleh Kimia Farma, segenggam GMO, dan bayang-bayang sejarah kelam dari India.

Baca juga: Mengulik Makna Kongres Tinggal Kukuhkan Megawati jadi Ketum

Ada yang menyambut Bill Gates layaknya nabi teknologi, tapi ada juga yang mengernyit, “Kok kesannya kita ini negara uji coba?” Mungkin mereka ingat bahwa di India, vaksin polio yang didanai yayasan Gates pernah berujung petaka.

Lebih dari 490 ribu anak dilaporkan mengalami kelumpuhan pasca program vaksinasi tersebut, hingga Gates dan timnya sempat digugat di pengadilan India. Apakah kita sedang membuka pintu bagi keselamatan, atau malah celaka?

Dokter Tifa Fauzia, yang sering disebut "dokter plus-plus" (plus cemas, plus kritis, plus getol mengingatkan), sudah menulis surat terbuka yang berbunyi tajam: “He is a pure businessman, not Santa Claus.” Ringkas, padat, dan menohok.

Baca juga: Depok Bebaskan PBB dan Beri Diskon BPHTB hingga 50 Persen

Memang, Bill Gates bukan Sinterklas. Dia tidak datang membawa hadiah cuma-cuma, melainkan investasi sebesar USD 159 juta. Dan seperti kata para bankir, “tidak ada makan siang gratis.”

Sementara dunia sibuk berdebat soal etika medis, Gates dengan gesit juga disebut-sebut sedang mengincar sistem QRIS—alat pembayaran digital Indonesia yang konon tidak disukai Amerika.

Wah, dari Windows ke Wallet. Mungkin nanti muncul produk baru: Windows Pay—bayar cukup dengan tatapan mata, sambil Anda tak sadar sedang ditawari vaksin varian mRNA, bonus bubur tepung ulat maggot.

Baca juga: KOPEK: Kelapa Indonesia Perlu Perhatian Khusus

Belum cukup? Gates juga membawa bibit tanaman GMO dan rencana produksi daging sintetis dari maggot alias belatung. Jika sukses, semua hasil uji coba itu akan dijual ke dunia. Sementara kita? Mungkin akan tinggal cerita di buku catatan eksperimen.

Kementerian Kesehatan berusaha menenangkan publik. Mereka bilang uji klinis vaksin TBC ini profesional, diawasi WHO, BPOM, dan para ahli.

Tapi publik bertanya: “Kalau efek samping muncul, siapa tanggung jawab?” Lalu muncul saran khas netizen: “Coba dulu ke Presiden, Menteri, DPR. Kalau mereka masih hidup dan sehat, baru kami mau.”

Baca juga: Jemaah Haji Diingatkan Gunakan Alas Agar Kaki Tidak Melepuh

Kemenkes menjelaskan bahwa vaksin M72 ini sudah diuji sejak awal 2000-an. Tapi seperti kata pepatah, “Bekas luka lama, maksudnya kasus vaksin polio India, tak mudah hilang.” Apalagi kalau bekasnya berbentuk gugatan hukum internasional.

Mari kita refleksi. TBC memang masalah serius—Indonesia termasuk lima negara dengan beban tertinggi. Solusi dibutuhkan. Tapi solusi tak bisa diburu-buru. Apalagi kalau rakyat diposisikan sebagai 'populasi uji coba' dengan informasi yang minim, edukasi yang lemah, dan perlindungan hukum yang rapuh.

Informed Consent itu bukan hanya selembar kertas. Itu hak untuk tahu, menolak, atau menerima dengan sadar dan bebas dari tekanan. Jangan sampai rakyat hanya tahu bahwa mereka ikut program ‘kesehatan’, dibayar, padahal sebenarnya jadi sampel.

Baca juga: Catatan Cak AT: Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!

Alakulli hal, Bill Gates jenius dalam software. Tapi ketika dia beralih ke soft flesh alias tubuh manusia, kita butuh kehati-hatian ekstra. Negara yang besar bukan negara yang berani coba-coba, tapi yang melindungi warganya dari jadi obyek percobaan.

Prabowo harus ingat, menjadi pemimpin bukan berarti membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapa saja yang membawa investasi. Tapi menjaga agar investasi itu tidak menjadikan rakyat sebagai collateral damage demi data klinis dan keuntungan global.

Kita ingin sehat, bukan sekadar jadi sehat-sehat-an di laporan uji coba. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 9/5/2025

Catatan: Artikel ini ditulis sebagai bentuk kritik sosial yang berbasis data dan fakta yang telah tersebar luas di media arus utama. Jika ada kekeliruan, mohon koreksi dengan kasih sayang, bukan suntikan mRNA.

Read Entire Article
Politics | | | |