Tokoh Aceh: Masyarakat Korban Banjir Masih Menahan Lapar

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH — Masyarakat Aceh terus mendesak pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional di Sumatera sehubungan kondisi pascabencana banjir dan tanah longsor di sana. Di lapangan, menurut tokoh masyarakat Aceh Asrul Sani, bantuan masih banyak yang tersendat.

“Kami melihat ini. Masyarakat lapar, masyarakat masih tidur di tempat-tempat mengungsi. Dan mau sampai kapan seperti itu? Ini sudah darurat, sudah waktunya pemerintah menetapkan bencana nasional dan membolehkan bantuan internasional masuk,” kata Asrul kepada Republika saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/12/2025

Menurutnya masyarakat mulai curiga keengganan penetapan status bencana nasional terkait dengan penyebab terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), pun juga di Sumatera Barat (Sumbar) begitu parah.

Di Aceh, Asrul mengatakan hingga hari ke-24 penanganan bencana, masyarakat semakin memahami banjir bandang dan tanah longsor yang menyapu lebih dari 18 kabupaten dan kota di wilayah itu lantaran aktivitas-aktivitas perambahan hutan-hutan. Hal tersebut, kata Asrul karena awam melihat fakta di banyak lokasi bencana, banjir bandang dan tanah longsor membawa berkubik-kubik kayu gelondongan hasil dari penebangan.

“Kami curiga, pemerintah pusat tidak menetapkan bencana nasional, karena banjir (dan tanah longsor) ini adalah akibat dari perambahan hutan,” kata Asrul. Kata Asrul perambahan hutan-hutan tersebut, berdampak pada melemahnya kondisi geologis di banyak wilayah di Aceh saat terjadi musim hujan, yang berujung pada terjadinya banjir bandang dan tanah longsor.

Hidayat, warga Desa Lhok Ang, menjelaskan soal tumpukan gelondongan kayu yang hanyut bersama banjir bandang di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, Selasa (2/12/2025).

Dan perambahan-perambahan hutan itu, kata Asrul dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitasnya membabat hutan-hutan atas dasar persetujuan, maupun perizinan dari pemerintah pusat. “Izin perusahaan-perusahaan ini, kan dari Kementerian Kehutanan semuanya, atau dari pusat lah. Jadi mereka (pemerintah pusat) tidak mau membuat status bencana nasional ini, karena mereka tahu, mereka sendiri yang memberikan izin perambahan-perambahan hutan,” kata Asrul.

Di Aceh, kata Asrul, hingga hari ke-24 penanganan bencana tak maksimal, bahkan terkesan lambat. Banyak wilayah yang dikatakan Asrul masih terisolasi tak tak tersentuh oleh bantuan pemerintah. Terutama, kata Asrul di wilayah pedalaman di Aceh Timur, maupun Aceh Utara. Sementara banyak tokoh-tokoh di Aceh, kata Asrul yang berada di luar negeri menggalang bantuan bersama-sama pegiat maupun relawan internasional untuk dapat masuk ke Serambi Mekkah memberikan bantuan, maupun pertolongan, serta pemulihan pascabencana.

Akan tetapi, sokongan-sokongan internasional itu, terhambat masuk lantaran tak diizinkan oleh pemerintahan di Jakarta. Sebab kondisi darurat di Aceh, tak diundangkan sebagai bencana nasional. “Kita memahami kemampuan negara kita dalam penanganan bencana ini. Dan kami lihat, memang perlu untuk ditetapkan status bencana nasional untuk bantuan-bantuan internasional dapat masuk,” kata Asrul. “Di Malaysia, masyarakat Aceh yang merantau di sana sudah siap dengan ribuan ton bantuan kemanusian, tetapi tidak bisa masuk karena dilarang pemerintah,” kata dia.

Padahal, menurut Asrul, bantuan-bantuan tersebut yang saat ini paling dibutuhkan masyarakat Aceh. Mulai dari sandang, pangan, hingga papan akibat tempat-tempat tinggal kebanyakan warga yang porak-poranda, bahkan ‘punah’ diterjang banjir bandang, atau tanah longsor. 

Ia juga meminta Presiden Prabowo melihat kondisi sebenarnya di lapangan. Asrul mengatakan, selama ini banyak pernyataan-pernyataan presiden yang menyampaikan penanganan bencana di Aceh sudah maksimal. 

Kata Asrul, sampai hari ke-24 penanganan bencana, kondisi masyarakat di Aceh belum menapaki ke arah pemulihan. Justeru kata dia, masyarakat korban bencana banjir bandang dan tanah longsor “masih mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar berhari-hari.”

“Laporannya itu tidak sesuai dengan di lapangan. Karena kalau sampai hari ke-24 ini Kami melihat ini rakyat itu menahan lapar," ujar Asrul.

Read Entire Article
Politics | | | |