Tita Rahayu Sulaeman
Agama | 2025-05-10 11:10:38

Bantuan sosial adalah bantuan berupa uang, barang atau jasa kepada seseorang, keluarga, kelompok, atau masyarakat miskin, tidak mampu atau rentan terhadap risiko sosial. (Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2019).
Belakangan ‘rakyat miskin’ sedang disorot. Tidak memiliki kemampuan finansial, tapi memutuskan punya banyak anak. Sebagian masyarakat bahkan menilai ini sebuah kejahatan. Muncul lah gagasan ; rakyat miskin yang mau dapat bansos, harus vasektomi.
Kita pahami dulu kondisi rakyat miskin. Pertama, ada yang miskin kultural ; karena sikap individunya santai dan tidak punya keinginan meningkatkan taraf hidup. Diantara mereka ada yang Tidak bertanggung jawab, tidak melaksanakan kewajban mencari nafkah, bahkan terlibat judi dan pinjol. Dalam pandangan agama, perilaku mereka tidak benar.
Kedua, ada yang namanya kemiskinan struktural ; disebabkan oleh struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil. Meskipun ada program dan bantuan sosial, kemiskinan struktural akan terus berlanjut karena ketimpangan sumber daya (tirto.id). Masyarakat yang miskin struktural ini banyak jumlahnya. Sementara bansos sangat terbatas jumlah penerimanya.
sumber gambar : rifkisyabani.wordpress.com
Bagaimana mungkin kemiskinan yang rumit ini selesai hanya dengan Bansos ?
Maka Bansos bagi rakyat miskin adalah keliru. Karena rakyat yang kebanyakan karena miskin struktural mereka butuh diberikan akses yang merata terhadap berbagai sumber daya. Hilangkan ketimpangan, ciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Rakyat miskin butuh lebih dari sekedar Bansos. Sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
Apakah sungguh negara ingin mengentaskan kemiskinan ? atau merasa cukup bertanggung jawab terhadap rakyat miskin dengan pemberian bansos ? Sementara pendidikan, kesehatan, makanan bergizi, lapangan pekerjaan bahkan pengelolaan sumber daya alam menjadi hak para pemilik modal untuk menyelenggarakannya ---khas kapitalis.
Apakah negara bertanggung jawab terhadap seluruh rakyat miskin ? ‘enak aja jadi rakyat, Lu yang beranak, minta nafkah ke negara’ ‘apa-apa minta ke negara, apa-apa salah negara’. Demikian kata sebagian masyarakat.
Tentu saja, negara bertanggung jawab terhadap rakyat miskin. Rakyat sudah terlalu lama dibiarkan mandiri, segala hal diurus sendiri, sehingga terlalu menyederhanakan peran negara.
Dalam pandangan Islam, kemiskinan diartikan sebagai kondisi ketika kebutuhan pokok seperti pakaian, makanan, dan tempat tinggal tidak terpenuhi secara memadai. Islam menetapkan bahwa memenuhi kebutuhan dasar ini merupakan kewajiban. Apabila seseorang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya sendiri, syariat mewajibkan pihak lain untuk memberikan bantuan agar orang tersebut tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Allah Taala berfirman,
“Berikanlah (sebagian lagi) kepada orang-orang yang sengsara lagi faqir.” (QS Al-Hajj [22]: 28).
Pihak yang pertama kali berkewajiban membantu orang fakir adalah keluarga terdekat yang memiliki hubungan pewarisan. Jika pihak keluarga ini tidak ada atau tidak mampu, tanggung jawab pemberian nafkah berpindah kepada negara, yang menyalurkannya melalui baitulmal pada pos zakat. Selain zakat, baitulmal juga memiliki berbagai sumber pemasukan lainnya. Penggunaan setiap pos anggaran tersebut harus sesuai dengan ketentuan syariat demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sumber kekayaan baitulmal antara lain berasal dari fai, kharaj, jizyah, serta pengelolaan kekayaan umum berupa sumber daya alam yang diatur secara syar’i.
Sabda Rasulullah saw.,
“Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.”
(HR Bukhari-Muslim).
Juga sabda beliau saw.,
”Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.”
(HR Muttafaqun ’Alayh).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.