Lompatan Katak Pendapatan Masyarakat Perdesaan

7 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sugeng Budiharsono*

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berita resmi statistik Nomor 17/02/Th.XXVIII pada 5 Februari 2025 tentang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV 2024. Pada laporan tersebut dinyatakan, perekonomian Indonesia pada 2024 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 22.139 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp 78,6 juta atau 4.960,3 dolar AS.

Pada kenyataannya pendapatan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya  jauh dari nilai tersebut. Apalagi untuk masyarakat di perdesaan yang didominasi oleh petani. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, ada 27.802.434 petani pengguna lahan pertanian, dengan 17.251.432 (62,05 persen) di antaranya adalah petani gurem yang mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektar (BPS 2023). Dengan kepemilikan lahan seperti itu mustahil untuk hidup dengan layak apabila masih mengandalkan pertanian konvensional berbasis pangan 

Hal tersebut akan lebih mustahil lagi apabila pada 2045, seperti yang tertuang dalam Visi Indonedia Emas 2045, pendapatan per kapita ditargetkan sebesar 23.000 dolar AS hingga 33.300 dolar AS. Untuk mencapai pendapatan riil 5.000 dolar AS per kapita per tahun saja perlu usaha ekstra keras apalagi 23.000 dolar AS per kapita per tahun.

Tulisan ini menguraikan perlunya lompatan katak (leapfrogging) untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi khususnya untuk masyarakat perdesaan. Tanpa lompatan katak, alias dengan business as usual, akan mustahil mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi.

Lompatan katak

Lompatan katak pada bidang ekonomi merujuk pada strategi negara berkembang atau wilayah tertinggal ingin  menjadi negara maju dengan cara melompati tahap-tahap perkembangan konvensional. Jadi negara berkembang atau wilayah tertinggal tersebut tidak perlu mengikuti atau membuntuti negara-negara maju seperti strategi atau model angsa terbang (flying geese). Hal ini sudah dibuktikan oleh China yang maju pesat tanpa mengikuti jejak Jepang atau Korea Selatan.

Konsep lompatan katak berakar pada teori "penghancuran kreatif" dari Joseph Schumpeter, yang menyatakan bahwa inovasi dan kemajuan teknologi mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pada tahun 1983 Fudenberg, Gilbert, Stiglitz, dan Tirole dalam konteks ekonomi dan organisasi industry menulis artikel “Preemption, Leapfrogging, and Competition in Patent Races". Selanjutnya konsep ini dipopulerkan oleh Tirole (1988) dalam bukunya "The Theory of Industrial Organization”

Lompatan katak ini dapat dilakukan apabila negara berkembang atau wilayah tertinggal dengan cara sebagai berikut:

1.Menggunakan teknologi dan inovasi yang lebih baru dan lebih maju. Teknologi yang digunakan adalah exponential technologies seperti yang diuraikan Peter Diamandis dan Steven Kotler dalam tiga bukunya Abundance: The Future is Better than you Think (2012), Bold: How to Go Big, Create the Wealth, and Impact the World (2015), dan The Future is Faster than you Think (2020). Contoh teknologi yang ada di era digital saat ini, misalnya AI.

2.Melompati tahap-tahap perkembangan ekonomi yang telah dilalui oleh negara-negara maju. Atau dalam terminologi Chenery dan Syrquin (1975l disebut pola normal untuk menjadi negara maju. Maupun model angsa terbang dari Kaname Akamatsu (1935, 1937); dan

3.Fokus pada sektor-sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan yang sangat tinggi (hyper productivity and revenue)

Lompatan katak ini diharapkan akan meningkatkan laju pertumbuhan yang tinggi, meningkatkan efisiensi, produktivitas dan penerimaan atau keuntungan yang tinggi, dan meningkatkan daya saing produk barang dan jasa, dan suatu negara atau wilayah. Lompatan katak perekonomian wilayah perdesaan yang relatif tertinggal dibandingkan wilayah perkotaan, diharapkan akan mendorong tingkat pendapatan masyarakat perdesaan tersebut dengan cepat.

Tetapi, lompatan katak ini juga memiliki beberapa resiko kegagalan, antara lain; (1) resiko kegagalan yang tinggi apalagi struktur perekonomian tidak kuat dan kualitas sumber daya manusia yang rendah, (2) posisi geopolitik dan geoekonomi negara yang lemah; (3) ukuran pasar domestik dan daya beli masyarskat yang rendah, sehingga tergsntung pada pasar intrrnasional; (4) kapasitas inovasi dan kreativitas yang rendah sehingga tidak menghasilkan teknologi tinggi yang dibutuhkan; dan (5) resiko kerusakan lingkungan apabila eksploitasi sumber daya alam berlebihan. Hal ini akan berakibat kepada perekonomian yang tidak berkelanjutan.

Read Entire Article
Politics | | | |