Krisis Iklim Sebabkan Harga Beras Naik Hingga 16 Persen

5 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Harga beras di Indonesia melonjak hingga 16 persen pada Februari 2024 akibat kekeringan parah yang terjadi pada tahun sebelumnya. Kejadian ini hanyalah satu dari banyak kasus lonjakan harga pangan global yang dipicu oleh cuaca ekstrem akibat krisis iklim.

Dikutip dari laporan “Climate extremes, food price spikes, and their wider societal risks,” tanpa aksi mitigasi yang lebih agresif, masyarakat akan terus tertekan oleh lonjakan-lonjakan dari harga bahan-bahan pangan. Laporan itu meneliti 16 kejadian di 18 negara sepanjang 2022–2024.

Laporan tersebut menemukan gelombang panas, kekeringan, dan curah hujan ekstrem memicu lonjakan harga pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, dengan suhu global melampaui 1.5 derajat Celsius di atas level pra-industri.

Tak hanya di Indonesia, gelombang panas juga menaikkan harga pangan di Asia Timur. Seperti harga kubis yang naik 70 persen di Korea Selatan pada September 2024, harga beras melejit hingga 48 persen di Jepang, dan harga sayuran meningkat 30 persen di China.

Di Amerika Serikat, kekeringan parah di California dan Arizona berkontribusi pada kenaikan harga sayuran hingga mencapai 80 persen secara tahunan sampai November 2022. Kondisi-kondisi seperti ini menggarisbawahi risiko sistemik yang ditimbulkan krisis iklim terhadap rantai pasok pangan global, termasuk Indonesia.

“Selama kita belum mencapai nol emisi, cuaca ekstrem akan terus memburuk dan berdampak pada hasil panen serta harga pangan di seluruh dunia,” ujar peneliti pascadoktoral di Barcelona Supercomputing Centre dan penulis utama laporan tersebut Maximillian Kotz, Senin (21/7/2025).

Padahal, makanan sehat rata-rata dua kali lebih mahal per kalori dibandingkan makanan kurang sehat. Ketika harga pangan naik, keluarga berpendapatan rendah—termasuk di Indonesia—lebih rentan mengurangi konsumsi buah dan sayur yang bergizi, sehingga meningkatkan risiko malnutrisi serta penyakit kronis seperti diabetes, jantung, dan kanker. Dampaknya juga meluas ke kesehatan mental akibat tekanan pangan dan ekonomi.

“Orang-orang sudah mulai menyadari, kenaikan harga pangan menempati peringkat kedua dalam daftar dampak iklim yang mereka rasakan dalam hidup mereka, setelah panas ekstrem itu sendiri. Ketika harga pangan melonjak, keluarga berpenghasilan rendah seringkali terpaksa beralih ke makanan yang kurang bergizi dan lebih murah,” tambah Maximillian.

Laporan ini merekomendasikan prakiraan iklim yang dapat memberikan peringatan dini tentang cuaca ekstrem dan dampaknya terhadap tanaman pangan. Dengan begitu produsen dapat menyesuaikan praktik pertanian, dan mendorong pemerintah serta lembaga keuangan mengelola risiko harga pangan.

Terutama kenaikan suhu rata-rata global saat ini tercatat 1,3 derajat Celsius dari masa pra-industri. Analisis PBB memproyeksikan akan suhu rata-rata bumi dapat mencapai 3 derajat Celcius.

Sejak 2023, dari tahun ke tahun rekor suhu tertinggi terus terlampaui, dan biro prakiraan cuaca Inggris, Met Office memperkirakan 2025 akan menjadi tahun terpanas.

Dalam pernyataannya Kepala Program Iklim dan Ekosistem MADANI Berkelanjutan Yosi Amelia menjelaskan dampak krisis iklim terhadap ketersediaan pangan semakin berat bagi Indonesia dengan sistem yang sangat bergantung pada satu komoditas, yakni beras. Pasalnya, krisis iklim berpotensi menyebabkan gagal panel hingga melonjaknya harga pangan pokok.

“Sistem pangan kita, terutama yang sangat bergantung pada satu komoditas seperti beras, kini berada di ambang kehancuran. Tanpa perubahan arah kebijakan yang segera, adil, dan fundamental, kita tidak hanya menghadapi krisis iklim tetapi juga krisis pangan yang berkepanjangan dan kronis,” kata Yosi.

Yosi menilai kebijakan lumbung pangan yang digagas pemerintah bukan merupakan solusi yang tepat. Program pembukaan lahan 20 juta hektare untuk pertanian skala besar ini justru mengulang kesalahan masa lalu, yakni sentralisasi, pembukaan lahan dan hutan secara besar-besaran, serta kurangnya keberlanjutan atau integrasi pengetahuan lokal dan praktik adaptif.

“Alih-alih menyelesaikan krisis yang kita hadapi, pendekatan lumbung pangan justru berisiko memperburuknya. Ini bukanlah solusi jangka panjang. Yang benar-benar dibutuhkan Indonesia adalah transformasi fundamental sistem pertaniannya—yang berbasis pada diversifikasi pangan dan penguatan komoditas pangan lokal,” kata Yosi.

Policy Strategist CERAH Sartika Nur Shalati mengungkapkan krisis pangan akan semakin parah seiring semakin tingginya suhu bumi. Mengacu laporan CERAH (2022), kenaikan permukaan air laut akibat panasnya suhu bumi, bahkan hanya satu meter, berpotensi menenggelamkan lebih dari 130 ribu hektare sawah di pesisir.

Akibatnya, Indonesia bisa kehilangan 1 juta ton produksi beras yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan 5 juta penduduk.

“Krisis iklim bukan lagi ancaman di masa depan, ancamannya kini sudah sampai ke meja makan kita. Jika tidak ada aksi konkret untuk menahan laju krisis iklim ini, maka krisis pangan akan berubah menjadi ancaman ekonomi dan ketahanan nasional yang lebih besar dan serius,” kata Sartika. 

Read Entire Article
Politics | | | |