REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Aru Armando menyatakan, kenaikan tarif impor Amerika Serikat menandakan eskalasi perang dagang yang membawa dampak signifikan terhadap peta persaingan usaha, baik di dalam negeri maupun lintas negara.
“Perubahan peta perdagangan dunia sudah dipastikan merubah peta persaingan usaha di Indonesia dalam negeri maupun lintas negara,” ujar Aru dalam konferensi pers di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Ia menekankan, peran KPPU menjadi semakin penting dalam menghadapi situasi ini. “Sehingga kami akan menyampaikan pendalaman terkait dengan dampak kebijakan perang tarif tersebut terhadap persaingan usaha untuk memberikan masukan kepada pemerintah dengan terpenting apa strategi dari KPPU,” lanjut Aru.
Menurutnya, terdapat beberapa dampak utama dari kebijakan tarif tersebut terhadap persaingan usaha Indonesia. Pertama, Indonesia berpotensi kalah bersaing pada produk tertentu karena dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan negara lain. Contoh paling nyata adalah pada produk minyak sawit.
“Minyak sawit Indonesia di Amerika Serikat akan kalah bersaing karena harganya tentu akan lebih mahal, bahkan juga dibandingkan dengan Malaysia. Karena Malaysia dikenakan tarif yang lebih rendah, yaitu 24 persen, sementara Indonesia dikenakan tarif 32 persen,” jelas Aru.
Kondisi serupa juga terjadi pada industri lain seperti tekstil, alas kaki, elektronik, karet, dan kopi yang dapat mengalami penurunan volume ekspor. Oleh karena itu, KPPU mendorong pemerintah untuk memperluas pasar ekspor ke wilayah alternatif.
“Pemerintah menurut hemat kami wajib mendorong para eksportir untuk mencari pasar alternatif seperti Uni Eropa, China, Timur Tengah, atau Afrika untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa proses diversifikasi ini memerlukan waktu dan strategi baru. Kedua, Aru menyebut Indonesia akan menghadapi kondisi oversupply akibat peralihan tujuan ekspor negara lain.
“Kondisi oversupply dapat berasal dari domestik akibat penurunan permintaan ekspor karena harga jual yang tidak kompetitif seperti tekstil, elektronik, atau minyak sawit,” katanya.
Ia mencontohkan penurunan ekspor CPO senilai 1,3 miliar dolar AS ke AS yang dapat meningkatkan stok dalam negeri dan menurunkan harga tandan buah segar (TBS), merugikan petani dan UMKM. Sementara itu, produk dari Tiongkok juga berpotensi membanjiri pasar Indonesia akibat tarif tinggi AS.
“Indonesia akan mengalami kebanjiran produk Tiongkok dengan harga yang lebih rendah atau harga murah. Khususnya di industri elektronik, plastik, produk dari besi dan baja, furniture, pakaian, sepatu, serta kendaraan dan aksesorisnya dengan potensi nilai impor sebesar 221,6 miliar dolar AS,” ujar Aru.
Ia juga memperingatkan potensi terjadinya praktik predatory pricing sebagai respons dari pelaku usaha di pasar yang mengalami kelebihan pasokan. “Jadi perilaku ini sangat rawan terjadi dan KPPU, pemerintah, dan pemerintah harus dapat mencegah hal ini terjadi dengan memfokuskan pengawasan pada produk yang berkaitan dengan ekspor dan import,” tegasnya.
Ketiga, perusahaan yang menggantungkan ekspor ke AS berisiko mengalami penurunan produksi hingga pemutusan hubungan kerja. “Industri manufaktur seperti garmen, alas kaki, atau furniture yang banyak mengekspor ke Amerika Serikat akan paling berdampak,” ucap Aru.
Ia menambahkan, jika daya beli domestik tidak cukup kuat, maka stok menumpuk akan menimbulkan beban biaya tambahan yang berdampak pada keberlangsungan usaha. Keempat, KPPU mengantisipasi peningkatan konsolidasi usaha global melalui praktik merger dan akuisisi sebagai strategi menghindari tarif tinggi.
“Tingginya, biaya ekspor dapat diantisipasi oleh negara lain dengan memperlakukan praktik akusisi perusahaan domestik di negara tujuan ekspor,” papar Aru.
Untuk itu, ia menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap merger dan akuisisi, khususnya pada industri terdampak. “Sehingga pengawasan harus dilakukan bersama dengan pemerintah seperti Kementerian Hukum, Kementerian Perindustrian, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia,” pungkas Aru.