Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita (Refleksi Akhir 2025)

2 hours ago 3

Oleh: Heka Hertanto, Praktisi CSR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana Sumatra pada akhir November 2025 merupakan nestapa Ibu Pertiwi. Duka Sumatra adalah duka Indonesia. Seluruh rakyat Nusantara bersama warga yang terdampak banjir dan longsor.

Bencana di tiga provinsi yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat harus menjadi penguat sendi-sendi kebangsaan dalam merajut kebersamaan. Deritamu deritaku. Bencana pada akhir tahun ini mengajak masyarakat untuk bertafakur.

Akhir tahun selalu menjadi ruang jeda yang kita ciptakan sendiri---ruang untuk menghitung capaian, menata ulang harapan, serta merayakan kemenangan kecil maupun besar. Kita menghitung untung, menilai kerja keras, dan mengumpulkan kebanggaan dari perjalanan panjang selama 12 bulan.

Di tangan kita, angka-angka terasa hidup: grafik yang naik, kinerja yang memuaskan, bahkan agenda liburan yang sudah disiapkan, dan rencana perayaan penutup tahun sebagai sebuah fase perjuangan.

Banjir dan longsor tidak pernah datang tiba-tiba. Diawali dengan mengirim sinyal. Banjir dan longsor sebagai dampak dari ketidakseimbangan kelola alam. Namun manusia tidak mengetahui atau tidak mau tahu.

Hujan deras tanpa jeda selama berhari-hari mengubah sungai yang biasanya jinak menjadi arus liar yang meluluhlantakkan permukiman warga. Banjir bandang dan tanah longsor itu menenggelamkan desa, merusak fasilitas umum, dan memutus akses listrik, jalan, serta komunikasi. Situasi pun terus memburuk dari hari ke hari.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat angka korban terus meningkat. Mengutip data Jumat (10/12/2025) malam pukul 19.30 WIB, tercatat 1.072 warga meninggal dunia dan 186 warga hilang, 7.000 warga luka.

Ketika kita menyaksikan krisis iklim yang merajalela secara global, dampaknya nyata: pulau-pulau terancam tenggelam, dan bencana alam menjadi semakin sering. Menghadapi fenomena perubahan iklim, muncul pertanyaan krusial: Apa panduan yang ditawarkan Islam?

Ini adalah seruan penting. Bukan hanya bagi Muslim, juga semua pemeluk agama untuk kembali ke akar spiritual masing-masing.

Agama-agama ditantang untuk menyajikan bimbingan praktis tentang bagaimana menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Ilahi sekaligus menjadi pelindung setia lingkungan. Karena, kehancuran yang kita lihat hari ini sudah terlalu parah.

Meskipun konsep pelestarian lingkungan modern belum dirumuskan pada masa pewahyuan, Alquran menyimpan harta karun ajaran yang sangat relevan dengan isu ekologi.

Kitab suci ini menegaskan akar masalahnya melalui ayat yang sangat mencolok: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan (tangan) manusia" (QS 30: 41).

Ayat ini cerminan sempurna dari kondisi masa kini dan masa depan. Sebagian besar dampak perubahan iklim modern - dari cuaca ekstrem hingga kerusakan ekosistem - sesungguhnya adalah konsekuensi langsung dari ulah kita sendiri.

Meski beberapa faktor berada di luar kendali kita, jalan keluarnya jelas: kita harus bertindak sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi dengan meminimalkan sampah, mengoptimalkan daur ulang, menjaga ekosistem alami, serta aktif melestarikan pepohonan dan menolak penebangan liar. Ada cuaca ekstrem, ada kebijakan ekstrem oleh pejabat bermental penjahat.

Inti ajaran Alquran adalah prinsip keseimbangan kosmis yang menyeluruh. Dalam Surah ke-55, Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa Dia menciptakan segala sesuatu dalam tatanan yang harmonis. Setelah menegaskan bahwa "Dia menegakkan keseimbangan", kita diberi perintah Ilahi yang tak terhindarkan: "Maka janganlah kamu melampaui batas."

Ini peringatan keras bahwa melanggar batas ekologis yang telah ditetapkan Tuhan adalah tindakan yang sangat dilarang.

Keseimbangan ini terbukti dalam setiap aspek kehidupan. Alquran mengungkapkan, Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ambil contoh hubungan esensial antara manusia dan alam: kita mengeluarkan karbon dioksida - makanan bagi pepohonan - sementara pepohonan menghasilkan oksigen vital yang kita hirup. Ini adalah simbiosis sempurna antara kita dan kerajaan tumbuhan.

Kesadaran akan keseimbangan yang rapuh ini harus mendorong kita untuk menjaganya dan tidak pernah merusaknya. Kita harus menyadari sebuah kebenaran spiritual yang mendalam: seluruh alam semesta tidak henti-hentinya memuji dan tunduk kepada Tuhan.

Alquran mengajarkan, setiap entitas sekecil apa pun akan kembali kepada Tuhan secara individual. Tidak ada satu pun ciptaan yang luput dari perhatian-Nya.

Konsep inti dari Islam - ketundukan atau penyerahan diri (yang melahirkan istilah Muslim) - ternyata tidak eksklusif hanya bagi manusia. Alquran menyatakan segala sesuatu tunduk kepada Tuhan. Ini berarti seluruh alam, dalam cara kerjanya yang sempurna, adalah muslim (berserah diri) kepada perintah dan hukum Tuhan.

Keajaibannya tidak berhenti di situ. Alquran mengungkapkan hewan, pepohonan, dan segala sesuatu di sekitar manusia terus-menerus bertasbih (memuji Tuhan). Namun, tasbih mereka berada di luar jangkauan indra kita: "Kalian manusia tidak memahami cara makhluk-makhluk ini memuji Tuhan." (QS 17: 44).

Pemahaman ini membawa kita pada kesimpulan yang super etis: Ketika kita menghancurkan lingkungan, kita tidak hanya melenyapkan ciptaan; kita membungkam para penyembah Tuhan. Kita jaga alam, alam jaga kita.

Kisah kenabian menegaskan pelajaran ini dengan dramatis. Dikisahkan, seorang nabi yang marah karena gigitan semut menghancurkan seluruh sarangnya. Teguran Ilahi pun datang: "Kamu baru saja menghancurkan koloni hamba-hamba-Ku."

Terlepas dari otentisitas riwayat tersebut, pesannya jelas dan tercatat dalam tradisi Islam. Kita dilarang keras membunuh atau merusak makhluk hidup secara sembarangan.

Jika ada kebutuhan untuk mengendalikan hama yang berbahaya, tindakan haruslah proporsional, tidak pernah dilakukan secara membabi buta terhadap makhluk-makhluk yang sejatinya adalah hamba-hamba Allah yang sedang berzikir. Ketika kita merenungkan bencana global, jelas perubahan tidak dapat digantungkan hanya pada tindakan individu.

Skala krisis - banjir dan longsor di Sumatera disebabkan penebangan hutan besar-besaran (menghilangkan penyerap air alami) sehingga memicu banjir parah - menunjukkan bahwa tanggung jawab terbesar berada pada kebijakan pemerintah dan kolaborasi antarnegara.

Kita harus bersatu mendesak para pengambil keputusan untuk mereformasi tata ruang dan regulasi lingkungan. Namun, seruan untuk bertindak tidak berhenti pada lembaga negara. Tradisi Islam yang kaya memberikan mandat kuat bagi setiap individu untuk bertindak.

Pentingnya pohon dalam Islam patut digarisbawahi. Selain fakta spiritual bahwa pohon pun bertasbih, banyak hadis yang secara aktif mendorong kita untuk berinvestasi dalam penghijauan.

Nabi mengajarkan, menanam pohon adalah sumber pahala yang tak terputus (amal jariyah). Setiap orang yang berteduh di bawah naungannya,hewan seka li pun atau setiap buah yang dimakan dari pohon itu, menjadi ganjaran spiritual bagi penanamnya.

Dorongan ini mencapai puncaknya dalam sebuah ajaran yang luar biasa. Bahkan jika kiamat telah diumumkan dan Anda sedang memegang bibit di tangan Anda, tanamlah itu! Ini filosofi yang mengajarkan bahwa berbuat baik tidak pernah sia-sia.

Bahkan di saat-saat paling putus asa, ketika harapan masa depan seolah musnah, tindakan kebaikan - dalam hal ini, menanam kehidupan - tetap menjadi prioritas tertinggi. Islam mengajarkan, berbuat baiklah bahkan jika hasilnya tampak mustahil dinikmati.

Pesan inti yang harus tertanam kuat dalam benak setiap Muslim adalah kita diizinkan mengambil manfaat dari karunia Tuhan, tetapi dilarang keras berlebihan, apalagi menyalahgunakan sumber daya berlebihan. Satu kata, tidak serakah.

Bencana pada akhir tahun seperti teguran halus yang tegas dari pengambil kebijakan nasional hingga di daerah. Ketika kita bersiap merayakan keberhasilan usaha dan kerja keras sepanjang tahun, kabar air banjir dan longsor membuat kita berhenti.

Anggaran pesta yang sudah dialokasikan mendadak tak berarti ketika ribuan orang kehilangan rumah. Rencana liburan berubah makna ketika saudara-saudara yang justru berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Bahkan angka-angka prestasi yang kita banggakan terasa kecil ketika dihadapkan pada dampak bencana yang menghapus segalanya hanya dalam hitungan jam. Seolah apa yang kita kumpulkan dan perjuangkan sepanjang tahun tak ada artinya di hadapan kekuatan alam.

Seolah alam ingin mengingatkan bahwa manusia---dengan segala pencapaiannya---tetap makhluk yang lemah dan bergantung. Tidak ada prestasi yang layak dirayakan sementara ada sesama yang sedang menanggung nestapa. Namun refleksi ini bukan untuk meluruhkan semangat, melainkan menyadarkan arah.

Bencana membuat kita menundukkan kepala, bukan menyerah, melainkan agar kita melihat kembali: untuk siapa sebenarnya kita bekerja? Untuk apa kita berusaha? Kepada siapa kita kembali ketika semua perhitungan duniawi mendadak kehilangan makna?

Akhir tahun bukan hanya tentang evaluasi keberhasilan, juga evaluasi hati.

Bencana memberikan pesan yang tidak tertulis bahwa keberkahan tak hanya hadir pada grafik keuntungan, juga pada kemampuan kita merasakan penderitaan orang lain. Nilai tertinggi dari prestasi adalah ketika berubah jadi kepedulian, solidaritas, dan kebaikan yang nyata.

Di tengah bencana kita belajar, yang paling penting bukan apa yang kita kumpulkan, melainkan apa yang kita berikan.

Maka kini, bukan saatnya gentar. Saatnya bergabung, menyingsingkan lengan, dan bersama-sama membantu. Kita pastikan bahwa kita mampu menghadapi dan mengatasi masalah ini---bersama-sama.

Tahun 2025 ditutup dengan bencana dahsyat dan warga masyarakat harus siaga. Bencana bisa datang kapan saja dan warga masyarakat harus bisa membaca tanda-tanda alam.

Read Entire Article
Politics | | | |