Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I
Agama | 2025-05-10 12:18:38
Haji, dan Nilai Tasawufnya
Oleh
Dr. Heru siswanto, M.Pd.I*
Rukun Islam yang ke lima adalah Ibadah haji. Bagi umat Islam, hukumnya haji adalah wajib bagi mereka yang memiliki kemampuan. Sedangkan makna haji secara bahasa adalah menyengaja, mengunjungi atau menuju. Sehingga secara istilah haji memiliki makna menyengaja datang ke baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan ketentuan-ketentuan tertentu dan di waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata yang dicari ridhonya Allah Swt.
Sedangkan dalam kajian fikih ibadah, haji adalah seseorang yang telah memenuhi rukun dan wajib haji dengan baik dan benar maka hajinya sah. Namun dalam hal ini, masih banyak orang yang luput menjaga hatinya dari hal-hal yang mengurangi kesempurnaan haji tersebut.
Dalam kajian spiritual, haji memiliki adalah perjalanan kembali ke diri sendiri. Dimana aspek ini meliputi yang berkaitan langsung dengan hati (seperti sabar, ridha, ikhlas, qona’ah dan seterusnya). Dan, dalam setiap aktivitasnya selalu ingat kepada Allah Swt (berdzikir dan menghayati setiap maknanya).
Ambil satu contoh saat ihram, ini menjadi pelajaran terbaik untuk umat muslim dalam memberikan kesadaran sosial di tengah masyarakat. Keberadaan dan posisi derajat manusia, semuanya sama menurut Allah Swt. Baik itu si-kaya atau si-miskin, seorang pejabat atau rakyat jelata, seorang jendral atau kopral, dan seterusnya.
Lalu apa yang membedakan menurut Allah Swt? yang membedakan martabat atau derajat kemanusiaan seseorang adalah ketakwaannya (QS. Al-Hujurat/49:13). Hal ini memberikan pelajaran hidup bagi kita, akan pentingnya menjalani kehidupan dengan baik, benar, disiplin untuk meraih keselamatan, kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Dengan didasari tidak sombong, angkuh, dan merasa paling kuat, sempurna, serta berkuasa dengan segala alasan apapun. Penyakit hati ini yang biasa menempel pada setiap hati manusia itu sendiri.
Untuk itu patut kita waspadai bersama, bahwa ada sejumlah penyakit hati seperti riya, ujub, takabur, hasut, gibah dan seterusnya. Penyakit hati ini cenderung menghampiri tiap hati seseorang. Penyakit hati ini nantinya bisa menyebabkan haji seseorang tidak mabrur atau mardud (ditolak oleh Allah Swt).
Agar terhindar dari haji mardud, maka selama pelaksaan haji ini kita harus bisa menjaga hati termasuk juga perkataan kita, dan senantiasa memperbanyak melakukan amalan ibadah. Tujuannya apa? supaya kita sampai pada kualitas ibadah yang mabrur. Dan, kita harus ingat juga bahwa haji mabrur adalah suatu anugerah dari Allah Swt. Sedangkan proses menjadi mabrur secara keilmuwan harus dipelajari dan dibekali oleh para jama’ah tentunya.
Terakhir, sebagaimana tersebutkan dalam Kitab Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, Jalaluddin As-Suyuthi pernah menjelaskan bahwa bukti seseorang telah meraih haji mabrur adalah ketika ia kembali menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Orang itu pun terus berusaha mengurangi perbuatan maksiat sepulang dari berhaji dan berusaha melakukan banyak kebaikan.
Dalam konteks keterangannya Imam Al-Ghazali, min ghairi fikrin wa ruwiyatin (tanpa dipikirkan atau rancang-rancang). Semuanya sudah menjadi bagian dari kepribadinnya. Sehingga ia menjadi orang yang senantiasa berbuat kebaikan, untuk dirinya maupun orang lain yang ada di sekitarnya.
*Ketua Program Studi dan Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Politeknik Pelayaran Surabaya; Pengasuh Balai Peduli Pendidikan Indonesia; Pengurus LTMNU PCNU Sidoarjo; Ketua LDNU MWCNU Krembung.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.