Film Patah Hati yang Kupilih Angkat Narasi Kedewasaan dan Dilema Restu

3 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rumah produksi Sinemaku Pictures menutup tahun dengan sebuah langkah berani. Melalui film drama terbarunya, Patah Hati yang Kupilih, mereka tidak lagi sekadar bercerita tentang gejolak cinta remaja, melainkan menyelami samudra hubungan dewasa yang penuh dengan luka, konsekuensi, dan pilihan-pilihan pahit.

Film ini bukan sekadar proyek komersial biasa. Di balik layar, nama-nama besar seperti Umay Shahab, Prilly Latuconsina, dan Bryan Domani duduk sebagai produser, didukung oleh tangan dingin Yahni Damayanti sebagai produser eksekutif. Kolaborasi ini melahirkan sebuah karya yang dipimpin oleh sutradara Danial Rifki, sosok yang dipercaya untuk memotret realitas cinta yang tidak lagi hitam-putih. Menampilkan Prilly Latuconsina, Bryan Domani, dan Indian Akbar, film ini menjadi sebuah pernyataan bahwa Sinemaku Pictures telah bertransformasi, beranjak menuju fase penceritaan yang lebih matang dan kompleks.

Selama ini, Sinemaku Pictures memiliki signature yang kuat dalam menangkap keresahan anak muda. Namun, dalam suasana produksi kali ini, ada dorongan kuat untuk menghadirkan warna yang berbeda. Umay Shahab, sebagai produser, menyadari betul bahwa penonton membutuhkan cermin yang lebih lebar untuk melihat kenyataan hidup yang sering kali tidak ideal.

“Saat berkolaborasi dan memilih Danial Rifki untuk menggarap film ini, kami merasa dia sebagai sutradara yang tepat untuk mengarahkan kisah cinta romansa dari sudut pandang yang lebih dewasa. Hal ini menjadikan Sinemaku Pictures memiliki warna yang berbeda dari karya kami sebelumnya dan baru,” ujar Umay dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Kamis (18/12/2025).

Menurutnya, film ini adalah ajakan bagi penonton Indonesia untuk kembali duduk dan berdiskusi tentang hal-hal yang selama ini sering dijumpai dalam keseharian namun sulit untuk dibicarakan secara terbuka, terutama mengenai perbedaan yang sifatnya universal. Danial Rifki mengaku sempat merasakan keraguan saat pertama kali tawaran ini mampir di mejanya. Baginya, menyentuh ranah yang selama ini menjadi kekhasan sebuah rumah produksi adalah tanggung jawab besar.

Ia terbiasa melihat Sinemaku sebagai wadah karakter-karakter Gen Z dengan segala dinamikanya. Namun, justru tantangan itulah yang membuatnya yakin untuk melangkah.

“Tanpa disadari, ketika mengangkat isu perbedaan, itu juga berefleksi pada hal yang lebih luas. Bagi saya, topik perbedaan adalah isu yang sangat membumi untuk masyarakat Indonesia,” kata Danial.

Menurut dia, film ini bukan hanya soal tembok tinggi perbedaan agama, melainkan tentang bagaimana manusia-manusia di dalamnya menyikapi tembok tersebut. “Semoga bisa menjadi refleksi bagi penonton, dan bisa merasakan perasaan dari para karakternya untuk bisa didiskusikan bersama-sama,” ujarnya.

Inti dari Patah Hati yang Kupilih terletak pada pundak dua karakter utamanya yakni Alya (Prilly Latuconsina) dan Ben (Bryan Domani). Mereka adalah sepasang mantan kekasih yang membawa ransel berisi kesalahan besar di masa lalu. Hubungan beda agama yang mereka jalani dulu berakhir dengan sebuah konsekuensi nyata yang tak terelakkan, hadirnya seorang anak.

Bagi Prilly, memerankan Alya adalah sebuah perjalanan ke wilayah yang belum pernah ia jamah sebelumnya dalam karier beraktingnya. Ia harus menanggalkan citra gadis muda yang ceria untuk menjadi seorang ibu tunggal yang gamang. Alya bukan hanya berjuang melawan rasa cintanya yang masih tersisa untuk Ben, tetapi juga berjuang memahami perannya sebagai ibu di atas ketidaktahuan dan rasa takut.

“Memerankan Alya sebagai Ibu tunggal adalah sesuatu yang baru bagiku. Di film ini, kehadiran anak dalam kehidupan Alya sebenarnya adalah yang tidak direncanakan. Sehingga dalam menjalankan peran sebagai Ibu, Alya banyak tidak tahunya,” kata Prilly.

Beban itu semakin berat karena Alya tidak memiliki pasangan untuk berbagi beban dalam membesarkan sang anak. Ia berdiri di sebuah persimpangan; di satu sisi ada Ben yang merupakan ayah biologis anaknya, dan di sisi lain ada tembok agama serta restu orang tua yang membentang luas. “Pada akhirnya, Alya juga berada di bawah bayang-bayang Ibunya dalam segala keputusan hidup,” kata Prilly.

Di seberang Alya, ada Ben yang diperankan oleh Bryan Domani. Karakter Ben dihadirkan bukan sebagai sosok pahlawan yang sempurna, melainkan pria dewasa yang berusaha memperbaiki apa yang telah patah. Bagi Bryan, karakter ini memberikan dimensi baru dalam memandang hubungan asmara.

“Akhirnya aku mendapatkan peran yang berada dalam sebuah hubungan cinta dewasa di film ini. Bagiku, di film ini, ini adalah cinta yang jujur dan tidak egois. Di film ini, penonton akan melihat perjalanan kedewasaan dari sebuah hubungan cinta,” ujar Bryan.

Salah satu kekuatan utama film ini adalah kehadirannya sebagai drama keluarga yang utuh, berkat peran signifikan dari Marissa Anita. Memerankan Ibu Rahma, ibu dari Alya, Marissa membawa perspektif dari generasi yang lebih tua, generasi yang sering kali dicap sebagai penghalang kebahagiaan anak, padahal di balik itu tersimpan luka yang belum sembuh.

Ibu Rahma digambarkan sebagai seorang ibu tunggal yang pernah ditinggal pergi oleh suaminya. Luka pengkhianatan di masa lalu menjadikannya sosok yang sangat protektif, bahkan cenderung represif terhadap keputusan hidup Alya. Baginya, melindungi Alya dari kesalahan yang sama adalah bentuk cinta, meskipun cara tersebut berujung pada intervensi yang menyesakkan.

Marissa Anita membedah karakter ini dengan sangat humanis. Menurutnya, patah hati terbesar dalam film ini bukanlah soal putusnya hubungan asmara, melainkan beban membesarkan anak dan cucu sendirian tanpa sandaran. “Cinta yang tidak direstui itu tentu hal yang berat dari sudut pandang anak. Secara alamiah, anak ingin membuat bahagia orangtuanya. Pada akhirnya ia mengesampingkan kebahagiaan diri,” ujar Marissa.

Namun, Marissa juga menitipkan sebuah pesan bagi para orang tua melalui karakter yang ia mainkan. “Saya berharap orangtua bisa memiliki kebijaksanaan untuk membiarkan anaknya bahagia dalam hal apapun, menjalani hidupnya dan mencari kebahagiaannya sendiri,” katanya.

Film ini mengeksplorasi lapisan-lapisan konflik yang universal. Perbedaan agama mungkin menjadi pemicu utama, namun isu tentang tanggung jawab, pengampunan pada diri sendiri, dan keberanian untuk mengambil keputusan secara mandiri adalah benang merah yang akan menyentuh hati siapapun yang pernah merasa terhimpit antara cinta dan prinsip. Patah Hati yang Kupilih siap hadir di seluruh bioskop Indonesia mulai 24 Desember 2025.

Read Entire Article
Politics | | | |