REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melki Laka Lena, menyatakan dukungan penuh terhadap pengembangan energi panas bumi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, sebagai bagian dari agenda besar transisi energi bersih dan kemandirian energi daerah.
“NTT sudah diputuskan sebagai provinsi renewable energy. Maka seluruh potensi energi terbarukan—termasuk panas bumi—harus kita dorong dan kembangkan,” ujar Melki dalam dialog bertajuk Re-Industrialisasi dan Ketahanan Energi Menuju Indonesia Emas yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) di Perpustakaan Habibie & Ainun, Jakarta Selatan, Jumat (18/7/2025).
Menurutnya, potensi panas bumi di Poco Leok merupakan bagian penting dari rencana besar menjadikan NTT sebagai provinsi energi terbarukan.
Gubernur Melki juga menanggapi berbagai isu yang beredar di publik terkait proyek panas bumi di wilayah tersebut. Ia menyebut, banyak narasi yang justru mengadu domba masyarakat dan melemahkan upaya transformasi energi nasional. Ia menyayangkan tuduhan tak berdasar yang diarahkan kepadanya maupun kepala daerah lain yang mendukung proyek tersebut.
“Saya dibilang terima uang dari pengembang panas bumi, paling gampang dicek sajalah. Jangan main fitnah. Ini soal kepentingan masa depan energi dan pembangunan di NTT,” tegasnya.
Melki menekankan bahwa dukungan terhadap panas bumi bukan berarti menutup mata terhadap kekhawatiran warga. Namun, pendekatannya harus berbasis dialog, bukan provokasi.
“Saya masuk langsung ke Poco Leok pertama kali, bertemu warga untuk berdialog. Bahkan kelompok yang selama ini kontra mau menerima kehadiran pemerintah. Artinya, ruang dialog itu masih terbuka,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pembangunan energi di NTT bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan juga soal kemandirian dan keadilan energi bagi seluruh wilayah. Ia mencontohkan proyek panas bumi di Ulumbu yang berjalan damai, aman, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
“Di Ulumbu itu sudah berjalan 13 tahun. Tidak ada isu lingkungan, bagi hasilnya baik, keamanan dan CSR-nya juga jalan. Hal itu bisa jadi rujukan bahwa panas bumi bisa diterima jika dikelola dengan baik,” ucapnya.
Meski demikian, Melki menyatakan bahwa proyek panas bumi harus tetap mengedepankan prinsip keadilan dan keterbukaan. Jika memang ada kekurangan, maka harus diperbaiki. Jika terbukti merugikan masyarakat atau lingkungan, pemerintah tak segan mengevaluasi atau bahkan menghentikan proyek.
“Kalau masyarakat setuju, proyek bisa jalan. Kalau tidak, ya kita evaluasi. Tapi jangan rusak harmoni sosial dengan cara-cara yang tidak jujur. Yang utama itu dialog,” katanya.
Ia juga menyesalkan adanya gerakan penolakan yang menurutnya tidak murni berasal dari masyarakat, melainkan digerakkan oleh pihak-pihak tertentu yang enggan tampil ke permukaan.
“Poster-poster berbahasa Inggris yang rapi, narasi-narasi digital yang tersusun sistematis—itu bukan dari warga biasa. Ada yang main di belakang. Ini tidak fair,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Melki menegaskan bahwa pemerintah akan terus membuka ruang dialog. Ia berharap semua pihak mau duduk bersama mencari solusi terbaik.
“Energi panas bumi adalah masa depan. Tapi masa depan itu tidak boleh dibangun di atas konflik dan luka sosial. Mari duduk bersama, bicara, dan putuskan secara adil,” pungkasnya.