BRIN: Perubahan Iklim Tingkatkan Intensitas Badai di Indonesia

2 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ancaman cuaca ekstrem dan badai tropis di Indonesia kian meningkat seiring perubahan iklim, ditandai dengan bergesernya pola pembentukan badai, meluasnya wilayah yang rentan, serta semakin besarnya dampak kerusakan. Ahli iklim dan cuaca ekstrem Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Erma Yulihastin, menegaskan badai tropis kini tidak lagi sekadar melintas, tetapi dapat terbentuk langsung di perairan Indonesia.

“Badai tropis ini makin intensif terjadi di wilayah perairan Indonesia. Genesis dari badai tropis itu bisa terbentuk di wilayah kita,” kata Erma dalam diskusi daring bertajuk Risiko Cuaca Ekstrem dan Solusi Iklim, Kamis (18/12/2025).

Ia mencontohkan Siklon Seroja pada 2021 dan Siklon Senyar yang terjadi hanya berselang sekitar lima tahun. Fenomena yang sebelumnya dianggap “sekali dalam 100 tahun” kini berulang dalam waktu singkat. Menurut Erma, intensitas badai yang meningkat tidak selalu sebanding dengan besarnya energi badai. Siklon Senyar, misalnya, secara kekuatan hanya sekitar 20 persen dari Seroja, namun dampaknya justru jauh lebih mematikan.

“Itu pun 20 persen karena saya sudah mempertimbangkan anomali yang sangat tidak biasa jika badai tumbuh di wilayah perairan sempit di Selat Malaka,” ujarnya.

Salah satu pergeseran penting adalah kecenderungan badai tropis bergerak mendekati pesisir dan daratan. Erma menjelaskan, suhu permukaan laut di dekat pantai kini lebih panas dibandingkan laut lepas, sehingga menarik pergerakan badai.

“Suhu permukaan laut yang ada di dekat-dekat pesisir itu lebih panas daripada yang di tengah laut. Sehingga itu menarik badai karena badai itu biasanya bergerak ke area yang lebih panas. Nah, ini jadi akhirnya badai itu lebih melipir ke pesisir. Nah, itu kan sudah rentan lagi kita berarti,” katanya.

Selain faktor laut, deforestasi disebut berperan besar dalam memperparah dampak badai. Berdasarkan riset terbaru, daratan dengan tutupan hutan lebat cenderung “menolak” masuknya badai karena suhu permukaannya lebih dingin. Sebaliknya, pembukaan hutan meningkatkan suhu darat dan justru menarik badai dari laut.

“Ketika tutupan lahannya berkurang, badai yang seharusnya di tengah laut justru menuju ke darat. Ini sesuatu yang cukup mengejutkan karena pengaruhnya besar,” ujar Erma.

Dalam proyeksi dari 2021 hingga 2040 menggunakan 14 model iklim, Erma memetakan tingkat kerawanan wilayah di Indonesia. Sumatra menempati peringkat pertama sebagai wilayah paling rawan terhadap kombinasi angin ekstrem dan hujan ekstrem, terutama di wilayah Riau dan Pekanbaru yang berbatasan dengan Selat Malaka.

“Yang menduduki peringkat pertama dalam soal angin ekstrem pada periode musim hujan (Desember, Januari, Februari) itu Sumatra. Sumatra itu yang paling merah dan meluas, yang menunjukkan bahwa peningkatan anginnya itu sangat ekstrem terjadi di Sumatra,” katanya.

Kalimantan berada di peringkat berikutnya, terutama akibat fenomena Borneo Vortex yang kian sering “salah tempat” dan masuk ke daratan. Jawa relatif lebih stabil dibanding pulau besar lainnya, namun memiliki puncak risiko angin dan hujan ekstrem pada periode Maret–Mei. Sementara Bali dan Nusa Tenggara menunjukkan perubahan pola yang drastis, dengan angin lebih kencang dan hujan lebih besar akibat pemanasan perairan timur Indonesia seperti Laut Flores, Banda, dan Maluku.

Erma menekankan, tantangan terbesar ke depan bukan hanya pada ancaman cuaca, tetapi juga kesiapan mitigasi. Indonesia masih kekurangan data beresolusi tinggi dan daya komputasi besar untuk memodelkan cuaca ekstrem secara akurat.

Selain itu, belum ada sinergi kuat antara ilmuwan, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil dalam menghitung dan mengonversi risiko bencana ke dalam kerugian finansial. Ia mendorong inovasi pembiayaan dan perlindungan risiko, termasuk asuransi badai angin seperti yang telah diterapkan di Eropa.

“Cuaca ekstrem yang dikaitkan dengan badai tropis itu high frequency dan high impact. Karena sering terjadi dan dampaknya besar, ini serius tapi bisa dikalkulasi, dihitung, dan diprediksi,” kata Erma. Dengan sistem mitigasi dan perlindungan yang tepat, menurut dia, risiko kerusakan aset dan korban jiwa dapat ditekan di tengah ancaman iklim yang kian nyata.

Read Entire Article
Politics | | | |