REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di era digital, setiap unggahan, cuitan, dan pesan yang kita kirim meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Jejak itu bukan hanya data, melainkan pola bahasa unik yang bisa menjadi kunci mengungkap berbagai kasus hukum. Inilah ranah kerja Assoc Prof Dwi Santoso, PhD, seorang ahli linguistik forensik yang bertugas layaknya detektif, namun dengan senjata utama: ilmu bahasa.
"Setiap orang punya ‘sidik jari linguistik’ yang khas," jelas Santoso, akademisi Universitas Ahmad Dahlan yang mendalami pertemuan antara bahasa dan hukum.
Sidik jari itu, menurutnya, tercermin dari cara seseorang memilih kata, menyusun kalimat, hingga kebiasaan kecil seperti penggunaan tanda baca. "Pola ini seringkali konsisten dan sulit dipalsukan. Dalam banyak kasus, seperti ancaman daring atau dokumen yang dipertanyakan keasliannya, analisis terhadap pola inilah yang mengungkap kebenaran," katanya.
Bagaimana Kata-Kata Bisa Berbicara di Pengadilan?
Linguistik forensik menerapkan berbagai cabang ilmu bahasa secara mendalam untuk keperluan hukum. Santoso memaparkan, analisisnya bisa mencakup banyak hal. Misalnya, dalam kasus dugaan ujaran kebencian, para ahli tidak hanya fokus pada kata-kata kasar. Mereka mengamati struktur kalimatnya, apakah bersifat memerintah atau menyatakan, dan konteks percakapan secara keseluruhan. Mereka juga membandingkan gaya bahasa yang digunakan dengan sampel tulisan lain dari orang yang sama.
Pendekatan ilmiah ini pernah memberikan pencerahan dalam sejumlah kasus. Santoso mencontohkan analisis terhadap naskah pidato dalam suatu kasus sosial. “Tim kami melakukan pemeriksaan menyeluruh dan menemukan bahwa secara linguistik, teks tersebut tidak mengandung unsur yang secara eksplisit menghasut kekerasan. Temuan ini membantu memberikan sudut pandang berbasis bukti yang objektif,” ujarnya.
Contoh lain adalah pemeriksaan dokumen hukum seperti surat perjanjian atau wasiat yang diragukan keasliannya, di mana perbedaan halus dalam tata bahasa dan pilihan kata dapat mengungkap ketidaksesuaian.
Tantangan di Tengah Jalan
Meski membawa manfaat besar, penerapan linguistik forensik di Indonesia tidak lepas dari rintangan. Tantangan pertama adalah keragaman bahasa dan budaya Indonesia sendiri. Sebuah kata atau ungkapan bisa memiliki makna dan daya provokasi yang sangat berbeda di berbagai daerah. Seorang ahli harus memiliki kepekaan budaya yang tinggi di samping keahlian linguistiknya.
Tantangan selanjutnya terletak pada sistem peradilan. Seringkali, hasil analisis linguistik masih ditempatkan sebagai “keterangan ahli” tambahan, bukan sebagai alat bukti utama yang setara dengan bukti fisik atau digital lainnya. “Membangun pemahaman dan kepercayaan di kalangan penegak hukum membutuhkan waktu dan edukasi yang berkesinambungan,” kata Santoso.
Di sisi lain, ketersediaan sumber daya manusia yang ahli di bidang ini masih terbatas. Ilmu linguistik forensik adalah gabungan dari linguistik, hukum, dan teknologi informasi, yang memerlukan pendidikan khusus. Saat ini, masih sedikit institusi pendidikan yang menawarkan program komprehensif untuk mencetak ahli di bidang ini.
Menyongsong Masa Depan dengan Kecerdasan Buatan dan Manusia
Menghadapi masa depan, Santoso optimis dengan potensi kolaborasi antara kecerdasan buatan (AI) dan keahlian manusia. Teknologi AI dapat memproses data teks dalam jumlah sangat besar dengan cepat, membantu mengidentifikasi pola dan anomali yang mungkin luput dari mata manusia. “AI adalah alat bantu yang sangat powerful untuk tahap awal penyelidikan,” ujarnya.
Namun, Santoso menegaskan bahwa peran manusia tetap tak tergantikan. "AI bisa mengenali kata, tetapi tidak selalu bisa memahami nuansa, sarkasme, metafora budaya, atau emosi yang terselip di balik kata-kata itu. Pemahaman terhadap konteks sosial budaya hanya bisa dilakukan oleh manusia," katanya. Kolaborasi yang harmonis antara teknologi dan keahlian analitis manusialah kunci kesuksesan.
Membangun Landasan yang Kuat untuk Keadilan yang Lebih Tegas
Untuk mengatasi berbagai tantangan dan memaksimalkan potensinya, diperlukan upaya bersama. Santoso menekankan pentingnya integrasi ilmu linguistik forensik ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, baik di fakultas hukum maupun fakultas ilmu budaya. Selain itu, pengembangan standar prosedur dan sertifikasi profesi yang diakui secara nasional akan meningkatkan kredibilitas dan konsistensi metode analisis.
Yang tak kalah penting adalah dialog dan pelatihan bagi para penegak hukum. Dengan memahami kemampuan dan batasan analisis linguistik, hakim, jaksa, dan polisi dapat memanfaatkan alat bukti ini secara lebih optimal.
“Pada hakikatnya, linguistik forensik bertujuan untuk mencari kejernihan makna dan kebenaran di tengah belantara kata-kata," kata Santoso. Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh informasi dan komunikasi digital, kehadiran ‘detektif kata-kata’ bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan presisi dan mendalam, satu analisis kata demi kata.

6 hours ago
6












































