Oleh : Prima Gandhi, Mahasiswa Doktoral Ekonomi Pertanian Tokyo University of Agriculture, Ketua PPI Jepang, dan dosen IPB University
REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pada 21 Mei 2025, Taku Eto Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF) Jepang mengundurkan diri. Ia menjadi menteri pertama dalam kabinet Perdana Menteri (PM) Shigeru Ishiba yang melepaskan jabatan. Pria yang merupakan politisi senior Partai Demokrat Liberal (LDP) hanya menjadi menteri selama satu semester.
Pengunduran dirinya dipicu oleh pernyataannya kepada publik bahwa ia tidak pernah membeli beras karena selalu mendapatkannya dari para pendukung. Pernyataan ini mendapat kritik dari masyarakat luas dan anggota parlemen Jepang karena dianggap tidak sensitif di tengah mahalnya harga beras. Walhasil mundur menjadi keputusan politiknya sekaligus menyelamatkan muka Partai Demokrat Liberal menjelang pemilihan Majelis Tinggi Jepang di musim panas ini.
Budaya mengundurkan diri (Daijin o jin'in suru) perdana menteri, menteri dan politisi Jepang akibat dikritik masyarakat bukanlah hal yang baru. Namun pengunduran diri menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan akibat salah membuat pernyataan di tengah melonjaknya harga beras dalam dua tahun terakhir adalah yang pertama kali terjadi di negeri sakura.
Faktor Penyebab Naiknya Harga Beras
Penyebab kenaikan beras di Jepang disebabkan oleh besarnya permintaan dibanding stok beras yang ada. Awal mula defisit stok beras terjadi pada musim panas 2023, ketika hasil panen padi tidak sesuai target. Penurunan hasil panen padi disebabkan oleh perubahan iklim yang menyebabkan suhu tinggi sehingga mengurangi stok jumlah beras untuk didistribusikan pada tahun 2024 dan 2025.
Selain penurunan stok beras, kenaikan harga beras disebabkan oleh meningkatnya permintaan beras oleh restoran akibat lonjakan jumlah wisatawan ke Jepang pasca pandemi COVID-19.
Inflasi yang terjadi pun turut andil terhadap kenaikan harga beras karena inflasi meningkatkan biaya variabel input usahatani padi. Masalah demografi berupa rendahnya angka kelahiran pun ikut berkontribusi dalam peningkatan harga beras. Saat ini sulit mencari anak muda jepang yang mau menjadi petani di pedesaan Jepang. Hal ini menunjukkan regenerasi petani dan tenaga kerja di sektor pertanian tidak berjalan baik.
Masalah Distribusi
Menyikapi mahalnya harga beras dipasaran Pemerintah Jepang pada awal Maret 2025 telah melepaskan cadangan beras nasional ke pasar. Biasanya, tindakan ini hanya dilakukan setelah bencana alam. Namun hingga Mei 2025 belum terlihat dampak positif dari pelepasan beras cadangan pemerintah ini. Penulis yang tinggal di Setagaya, Tokyo terakhir membeli beras kemasan lima kilogram beras pada awal Mei seharga 4.320 yen, harga ini naik 100 persen dibandingkan waktu yang sama tahun lalu.
Pemerintah Jepang beralasan harga beras belum turun karena sebagian besar beras yang dilepas belum sampai ke pedagang ritel/eceran. Menurut Zen-Noh (Federasi Nasional Asosiasi Koperasi Pertanian Jepang) hanya sekitar 55.000 meter kubik ton beras yang dijual kepada pedagang grosir dari 200.000 ton yang diterima Zen-Noh dari cadangan nasional pemerintah. Hal ini berarti ada masalah pada rantai distribusi/logistik beras di Jepang.
Akar masalah logistik beras di Jepang terkait dengan faktor demografi yang membuat Jepang kekurangan sopir pembawa kendaraan logistik. Selain itu kebijakan yang memperbolehkan petani menjual langsung ke pasar tanpa melalui distributor utama membuat rantai pasok menjadi lebih sulit dipantau dan dikendalikan. Akibatnya, pasokan beras di pasar menjadi tidak merata dan sulit dilacak.
Perilaku masyarakat (consumer behaviour) Jepang yang terbiasa menyetok makanan karena situasi darurat ikut memperumit distribusi beras karena membuat stok di tingkat pedagang ritel cepat habis. Semua faktor diatas menyebabkan pelepasan cadangan beras nasional tidak optimal dalam menstabilkan harga dan pasokan di pasar, sehingga krisis beras belum bisa teratasi.
Komoditas Ekonomi Politik
Peristiwa tingginya harga beras di Jepang dan mundurnya menteri Taku Eto menjelang pemilihan Majelis Tinggi musim panas menegaskan kembali bahwa makanan pokok merupakan komoditas ekonomi politik di suatu negara. Ketersediaan beras di Jepang dalam tiga bulan terakhir mencerminkan interaksi kompleks antara kepentingan ekonomi dan politik terkait erat.
Makanan pokok seperti beras atau gandum dikatakan sebagai komoditas ekonomi politik karena komoditas ini menjadi komoditas ekonomi vital bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat sehari-hari sekaligus komoditas politik yang memengaruhi kebijakan pemerintah, dinamika kekuasaan, dan stabilitas sosial di suatu negara, contoh yang terjadi di Tunisia dan Mesir, krisis pangan serta kenaikan harga makanan pokok memicu demonstrasi besar-besaran yang akhirnya menjatuhkan rezim Presiden Ben Ali dan Hosni Mubarak.
Apa yang terjadi di Jepang harus menjadi pelajaran bagi Indonesia yang masyarakatnya sama-sama mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Jika kita membandingkan kondisi agribisnis beras Jepang hari ini, Indonesia lebih beruntung karena petani padi di Jepang hanya menanam padi sekali setahun sedangkan petani Indonesia mampu tiga sampai empat kali setahun. Letak geografis membuat perbedaan iklim antara tiga negara yang menyebabkan perbedaan jumlah musim tanam. Perbedaan jumlah musim tanam padi menyebabkan perbedaan produksi beras. Data USDA mencatat jumlah produksi beras Jepang dan Indonesia pada 2023 secara berurutan sejumlah 7,48 juta ton kubik dan 34 juta ton kubik.
Kita patut mengapresiasi langkah lembaga pangan seperti Kementerian Pertanian, Badan pangan nasional dan Bulog yang melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan stok beras nasional mencukupi kebutuhan masyarakat dalam rangka menjaga stabilitas politik pemerintahan Presiden Prabowo. Penulis mencatat beberapa langkah tepat yang dilakukan adalah pertama, penyerapan Hasil Panen oleh Bulog. Di era Presiden Prabowo, Perum Bulog aktif menyerap hasil panen langsung dari petani di berbagai daerah. Strategi jemput bola ini efektif memperkuat cadangan beras pemerintah sekaligus menjaga stabilitas harga di tingkat petani.
Kedua, peningkatan produksi nasional. Menteri Pertanian Amran Sulaiman memperluas lahan tanam, menyediakan subsidi pupuk, dan mendistribusikan alat mesin pertanian (alsintan) secara masif untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu adopsi teknologi modern dan praktik pertanian presisi juga dioptimalkan untuk memaksimalkan hasil panen di sentra-sentra produksi beras. Ketiga, Penguatan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Stok cadangan beras pemerintah saat ini telah menembus 3,8 juta ton per Mei 2025, tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan gudang darurat dan menambah gudang prioritas di seluruh Indonesia untuk memastikan hasil panen terserap dan tersimpan aman. Hal ini penting untuk mengatur agar distribusi merata jika CBP dilempar ke pasar.
Keempat, investasi dan dukungan anggaran. Pemerintah Presiden Prabowo mengalokasikan anggaran besar untuk pembelian gabah dan beras dari petani demi menjaga stok CBP dan menstabilkan harga. Langkah ini juga bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan menjaga kestabilan pasokan pangan nasional.
Optimalisasi panen empat kali setahun, pemanfaatan SDM yang besar, serta luasnya wilayah adalah pondasi keunggulan komparatif Indonesia di sektor pertanian. Dengan kebijakan terintegrasi, inovasi teknologi, dan penguatan kelembagaan petani, sudah sepatutnya Indonesia dapat meningkatkan produksi, ketahanan pangan, dan daya saing beras di pasar domestik maupun internasional secara berkelanjutan lebih baik dari negara empat musim seperti Jepang.