Pendidikan Bukan Sekedar Memproduksi Ijazah

15 hours ago 3

Image Dr. H. Dana, M.E.

Pendidikan dan Literasi | 2025-05-07 18:37:57

Oleh: Dr. Dana, M.E., M.I.Kom

Umat Islam pernah memiliki generasi terbaik sepanjang sejarah, yaitu generasi Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka bukan hanya unggul dalam hal spiritual dan moral, tetapi juga mandiri secara ekonomi. Banyak sahabat Nabi yang sukses sebagai pengusaha. Bahkan Rasulullah sendiri telah menekuni dunia perdagangan sejak usia muda, jauh sebelum diangkat sebagai rasul. Pendidikan yang membentuk mereka tidak hanya menekankan ibadah dan akhlak, tetapi juga menumbuhkan semangat kemandirian dan kontribusi nyata dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Pertanyaannya kini, mampukah para pemikir pendidikan kita terutama di lingkungan perguruan tinggi Islam menghidupkan kembali semangat zaman itu? Mampukah mereka merancang sistem yang tidak hanya melahirkan lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara spiritual dan mandiri secara ekonomi? Memang, menciptakan generasi seagung para sahabat mungkin terasa sangat jauh, namun bukan berarti mustahil untuk mendekatinya. Sebab Islam tidak pernah menutup pintu harapan, justru Islam menyediakan panduan, teladan, dan semangat untuk senantiasa bergerak menuju perbaikan.

Ketika kita menoleh ke realitas hari ini, harapan tersebut tampaknya masih harus menempuh jalan panjang. Banyak sarjana yang setelah lulus justru kebingungan menentukan arah hidup. Mereka lebih banyak bergantung pada lowongan kerja, menanti pengumuman CPNS, atau berharap mendapat panggilan dari perusahaan. Bahkan lulusan fakultas bisnis pun yang semestinya paling dekat dengan dunia wirausaha banyak yang akhirnya memilih jalan yang sama, menjadi pekerja. Ini menunjukkan bahwa ada yang masih perlu diperkuat dalam proses pendidikan kita, terutama dalam membangun mental entrepreneur dan keterampilan praktis yang aplikatif.

Situasi ini bukan semata kesalahan mahasiswa. Dalam banyak kasus, pembelajaran masih terlalu fokus pada teori, dan hafalan. Sementara itu, praktik lapangan yang justru membentuk karakter, ketahanan mental, dan kreativitas belum mendapat porsi yang memadai. Bahkan program magang yang diadakan oleh fakultas bisnis pun umumnya hanya menempatkan mahasiswa di perusahaan sebagai pekerja magang, bukan sebagai pelaku bisnis yang diuji untuk menciptakan dan mengelola usaha sendiri. Bisnis adalah soal keberanian mengambil risiko, ketekunan menghadapi kegagalan, dan kecerdikan membaca peluang. Ini hanya bisa diasah jika mahasiswa terjun langsung ke lapangan dan mengalami semua proses itu secara nyata.

Di sinilah sebuah pertanyaan muncul, jika fakultas kedokteran memiliki rumah sakit pendidikan sebagai laboratorium praktik yang lengkap dan representatif, mengapa fakultas bisnis tidak memiliki rumah praktik bisnis yang sepadan? Bukankah dunia usaha pun menuntut kesiapan praktis dan ketahanan mental yang tidak kalah pentingnya?

Perbandingan ini memang tampak ironis. Fakultas kedokteran didukung oleh adanya rumah sakit pendidikan sebagai laboratorium praktiknya. Mahasiswa kedokteran mengalami langsung tantangan dunia medis sebelum menjadi dokter. Maka tidak heran jika lulusan kedokteran mayoritas siap menjalani profesi dokter. Tetapi mengapa tidak dilakukan pendekatan yang sama untuk fakultas bisnis, yang juga mempersiapkan mahasiswa dalam menghadapi dunia bisnis?

Inilah yang seharusnya menjadi terobosan perguruan tinggi di Indonesia terutama fakultas Bisnis. Daripada membangun gedung-gedung besar yang hanya menjadi symbol. Kampus bisa membeli lahan strategis di pinggir jalan dan membangun deretan kios usaha sebagai laboratorium bisnis. Kios tersebut bisa diisi beragam unit usaha, seperti kios-kios kuliner, distro, fotokopi, kafe, atau mini market yang semuanya dikelola mahasiswa. Sehingga mahasiswa dapat belajar langsung menghadapi pelanggan, menghitung modal, membuat promosi, hingga mengelola kerugian. Banyak pengusaha besar yang memulai usaha dari yang tampak kecil. Yang terpenting bukan jenis usahanya, tetapi proses belajarnya.

Dengan konsep ini, kampus dengan fakultas bisnisnya benar-benar menjadi tempat lahirnya pebisnis muda. Mereka akan terbentuk bukan hanya secara teoritis, tapi secara mental, spiritual, dan pengalaman riil. Kampus tidak lagi hanya mencetak sarjana dengan toga dan transkrip nilai, tetapi dengan karakter pelaku usaha yang siap bersaing secara sehat. Banyak inovasi hadir bukan dari ruang kuliah, tapi dari para pelaku usaha yang berani mencoba, gagal, dan bangkit lagi.

Maka sudah saatnya pemerintah dan kampus merancang ulang ekosistem pendidikannya, bukan hanya melahirkan pencari kerja, tetapi pencipta kerja. Terutama kampus Islam, yang sejak awal semestinya berorientasi pada warisan Rasulullah, cerdas secara spiritual, tajam secara intelektual, dan tangguh secara ekonomi. Pendidikan bukan sekedar memproduksi ijazah, tetapi membentuk manusia merdeka, secara akal, iman, dan finansial.

Tentu saja, ini bukan berarti semua lulusan harus diarahkan menjadi wirausahawan. Masyarakat tetap membutuhkan para ahli di berbagai bidang, dokter, guru, ilmuwan, ahli hukum, teknokrat, dan ulama. Namun, semangat kemandirian dan keberanian mengambil risiko yang menjadi inti dari kewirausahaan adalah sikap mental yang harus ditanamkan di semua bidang. Dengan begitu, setiap lulusan, apapun profesinya, tidak hanya menjadi ahli di bidangnya, tetapi juga menjadi agen perubahan yang tangguh, solutif, dan berdampak.

Inilah yang seharusnya menjadi kesadaran kolektif, jika Indonesia ingin menjadi negara besar dan mandiri, maka pendidikan tinggi perlu lebih menumbuhkan semangat kemandirian dan keberanian bertindak. Pendidikan sebaiknya tidak berhenti pada penyampaian teori, tetapi mampu membentuk pribadi-pribadi yang siap berperan aktif di tengah masyarakat. Generasi yang berani berjuang di pasar, bukan hanya bersaing di ruang seleksi CPNS.

Lalu, apa yang bisa dilakukan sekarang?

Pertama, perlu keberanian dari para pemimpin kampus untuk keluar dari zona nyaman. Jangan hanya bangga dengan akreditasi, serapan alumni sebagai karyawan, atau gedung pencakar langit yang megah. Banggalah jika kampus mampu mencetak ribuan wirausahawan muslim yang tangguh, jujur, dan bermanfaat bagi masyarakat. Wujudkan laboratorium bisnis yang sesungguhnya, tempat mahasiswa bisa gagal, bangkit, lalu sukses.

Kedua, pemerintah juga perlu berperan aktif. Dukungan regulasi, dana, dan insentif sangat dibutuhkan agar inisiatif semacam ini tidak hanya menjadi proyek satu dua kampus, tetapi menjadi gerakan nasional. Seperti halnya rumah sakit pendidikan di fakultas kedokteran, sudah saatnya lahir kawasan bisnis pendidikan milik fakultas ekonomi dan bisnis.

Ketiga, masyarakat dan orang tua juga perlu mengubah pola pikir. Jangan lagi menilai kesuksesan anak hanya dari gelar dan pekerjaan kantoran. Ajarkan sejak dini bahwa menjadi pengusaha bukan pilihan kedua, melainkan pilihan utama yang mulia, terhormat dan penuh peluang.

Sudah waktunya perguruan tinggi, terutama yang membawa nama Islam menjadi tempat lahirnya generasi seperti sahabat, taat pada syariat, punya integritas, punya iman, dan punya usaha.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |