
Rima Devi
Dosen Sastra Jepang, FIB, Universitas Andalas
Bung Hatta pernah mengingatkan bahayanya membangun satu sistem yang menampung hajat kehidupan orang banyak dengan semata bertumpu pada satu orang saja. Sebuah sistem yang dibangun dan ditegakkan oleh kehebatan atau prestasi individual seseorang, tak ubahnya kita membangun sebuah rumah kartu dengan otak tumpul. Demikian satu kali ditulis Bung Hatta dalam karyanya, “Demokrasi Kita”.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Rumah Kartu betapun indah, hebat, dan luar biasa dalam pandangan prestasi sekilas. Ia tetap saja rapuh, dan membahayakan. Ketika angin bertiup, susunan yang menyanggah Rumah Kartu akan rubuh dan menimpa semua orang. Tragedi akhirnya tak terelakkan.
Lebih baik membangun sebuah rumah batu yang kukuh, meski tampak sederhana. Namun di dalamnya terasa nyaman, dan aman. Ketika sistem telah dibangun, kenyamanan akan didapat dari orang-orang yang hidup tidak dengan kepala buntu. Transparansi dan keterbukaan adalah ruh yang menghidupi.
Demikian membangun institusi pendidikan Prodi Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas. Prodi ini digagas, dikembangkan, dan dijalankan dengan prinsip-prinsip pembangunan sebuah sistem kukuh yang dapat menampung berbagai aspirasi kemajuan bagi segenap civitasnya, dan peradaban masyarakat.
Prodi Sastra Jepang berdiri pada awal Reformasi menemukan bentuknya (2004). Masa ini adalah masa yang sulit bagi berkembangnya satu prodi di tengah berbagai gejolak dalam negeri. Ini adalah zaman bagi sebuah masa transisi yang signifikan yang ditandai oleh reformasi politik, riak pertumbuhan ekonomi, dan perubahan sosial. Praktis harapan bersifat “numpang lalu” ketika prodi ini berdiri, apatah lagi akan dijalankan dosen-dosen muda yang belum berpengalaman.
Mencoba adalah pengalaman, dan tak semua pengalaman mesti mendapatkan kegagalan. Kunci utamanya adalah basis ekosistem kolektif. Dalam ekosistem ini terdapat kesadaran dan praktik kerjasama, harmonitas, dan keberlanjutan. Inilah nilai-nilai hidup yang dijalani dan diperjuangkan para dosen muda yang sebagian besar para srikandi pendidikan itu. Bahwa keberhasilan institusi tidak boleh bergantung pada figur tertentu, betapapun kuat atau karismatiknya figur itu.
Dalam tradisi masyarakat Jepang, terdapat konsep “Wa”. Praktik Wa dalam masyarakat Jepang mengajarkan tentang pentingnya membangun kesetaraan dan harmoni dalam kehidupan sosial. Orang Minangkabau pun mengenal konsep “basandiang”. Praktik “basandiang” tak semata merujuk pada pernikahan. Konsep ini justru memiliki dasar filosofi yang lebih mendalam, yakni menggagas hal kesatuan dalam harmoni dan kesetaraan, musyawarah, keseimbangan, serta memastikan berbagai pihak merasa dihormati dan terlibat.
Wa atau basandiang dalam keseharian para civitas akademika Prodi Sastra Jepang tiada semata nilai simbolik. Ia adalah prinsip nyata yang memandu interaksi antar dosen-dosen muda itu. Hal ini tampak bagaimana mereka membangun Wa dan basandiang dalam menyusun kurikulum, membangun kegiatan kemahasiswaan, hingga mengembangkan jejaring alumni dan kerja sama nsional dan internasional. Para srikandi pendidikan itu percaya bahwa harmoni tidak berarti keseragaman, melainkan kemampuan untuk merangkul perbedaan, dan menyatukannya menjadi kekuatan kolektif.
Terbukti kerja kolektif mereka menjadi fondasi yang kokoh. Para dosen muda ini berbagi peran dalam mengembangkan riset, memperkaya pengajaran, serta membimbing mahasiswa, tanpa ada satu sosok pun yang menjadi pusat segalanya. Mahasiswa tidak sekadar menjadi peserta pasif, melainkan mitra aktif dalam pengembangan program—baik melalui kegiatan budaya seperti Bunkasai (festival budaya Jepang) yang diselenggarakan setiap tahun, internship atau magang ke Jepang, pertukaran mahasiswa ke universitas di Jepang, maupun berbagai forum akademik. Alumni pun menjadi bagian tak terpisahkan dari jejaring yang memperkuat Prodi Sastra Jepang di dalam dan di luar kampus.
Bagi tim dosen muda Prodi Sastra Jepang, prinsip yang digariskan UNESCO, Education for Sustainable Development (ESD), merupakan tantangan yang mesti dijawab ketika Indonesia semakin aktif dalam kehidupan global. Berbagai mata kuliah menyangkut Bahasa dan Sastra Jepang, berkelindan dengan studi budaya populer yang mendorong kekritisan berpikir mahasiswa dalam berbagai isu-isu dunia hari ini. Mereka dituntun agar memberi kontribusi nyata bagi masa depan negeri dan Kejayaan Bangsa.
Praktik pendidikan pada akhirnya, tak semata transfer pengetahuan. Tapi sebuah proses membentuk manusia berpikir kritis, peduli, dan berkontribusi dalam perubahan yang lebih positif.
Tantangan mewujudkan hal ini tentu tak mudah. Butuh kesabaran, kegigihan, dan kadang setiap dosen muda yang penuh gairah itu, harus menahan ego untuk mengutamakan kepentingan bersama lembaga.
Namun hasilnya terasa nyata. Dari akreditasi C di awal perjalanan, Prodi Sastra Jepang Unand akhirnya berhasil meraih akreditasi A (Unggul) dalam jangka dua dekade ini. Pada beberapa waktu lalu, bahkan organisasi internasional mengalungi reward melalui penilaian akreditasi FIBAA (Foundation for International Business Administration Accreditation) pada 2022.
Di luar semua itu, pencapaian itu tentu bukan sekedar catatan administratif. Ini adalah hasil dari keyakinan dan kesetiaan terhadap prinsip-prinsip dasar membangun ekosistem pendidikan tinggi di negeri kita.
Ketika dunia pendidikan tinggi bergerak semakin dinamis, tantangan insan kampus adalah menjaga agar Rumah Batu mereka yang tampak sederhana, namun elok ditinggali itu mesti tetap kokoh. Meski begitu ia juga lentur menghadapi perubahan zaman.
Ia adalah rumah bersama, dibangun atas kerja kolektif, dan semangat harmoni yang tidak pernah padam.
Terakhir, sebagaimana pernah diungkap Bung Hatta, sejarah bergerak melalui hukum-hukumnya sendiri, dan kita hanya bisa memastikan, bahwa apa yang kita bangun hari ini akan tetap berdiri kokoh untuk generasi mendatang. Insya Allah.(*)