Kakak Akan Selalu Ada Untukmu!

16 hours ago 6

Image Dhimas Wisnu Mahendra

Agama | 2025-05-07 13:32:34

Ramadhan hari ke-24

Anak perempuan itu berjongkok di trotoar menahan tangis. Gerbang sekolahnya kini lengang sepi. Para orang tua penjemput murid SD sudah kembali bersama anaknya. Tinggal ia sendiri. Perutnya sedari tadi bernyanyi, lebih sejam ia menanti. Tak ayal penjaga sekolah iba lalu menghampiri.

“Kakakku gak ada ” Isaknya sesunggukan.

“Sabar ya, Dek! Mungkin kakak masih disuruh ibu dulu membeli sesuatu, makanya terlambat datang.”

“Ibuku udah gak ada!” Tangisnya semakin keras.

“Astaghfirullah, maaf Dek, paman gak tahu. Ibumu Sudah meninggal?”

Anak itu mengangguk mengusap air matanya.

“Udah lama?” Anak itu mengencangkan erangnya.

“Bapak?”

“Bapak juga gak ada!” Ketus anak itu lagi.

“Ya Allah! Meninggal juga?”

Ia menggeleng. “Pergi! Udah lama. Gak tahu kemana.”

Oh. Miris bapak tua penjaga itu. Kasihan sekali anak ini. Jadi dia hanya diasuh oleh kakaknya?

“Adek lapar? Lagi puasa, tidak? Sambil tunggu kakak datang, paman belikan bakso ya?”

Ia menatap penjaga sekolah berkaca-kaca sembari menelan ludah.

“Jangan takut. Gak apa-apa.”

“Adeeeek!” Sebuah seru melengking dari jauh.

Seorang bocah lelaki lusuh mengencangkan kayuh sepeda tua peninggalan orang tua mereka.

“Kakaaaak!”

Gadis kecil itu sontak menghambur lalu menangis guncang di peluk kakaknya seloncat dari sepeda.

“Kamu kenapa menangis? Khan kakak sudah berjanji, akan selalu ada untukmu!”

Penjaga sekolah tersenyum terenyuh. Si Kakak memeluk erat adiknya begitu sayang.

“Kalian pasti lapar, khan? Tunggu di sini ya, paman belikan bakso, mau ya?”

Si Adik menatap penuh harap bak minta izin pada kakaknya. Si kakak senyum menggeleng.

“Terima kasih, Paman. Maaf merepotkan, tapi kami harus pulang sekarang.”

“Kenapa buru-buru? Makanlah dulu!”

“Saya Ada yang harus saya lakukan! Terima kasih Paman, kami pulang dulu ”

Cekatan ia menaikkan adik semata wayangnya yang masih kelas 3 SD itu ke boncengan, lalu memanjat pedal dan duduk di sadel yang tinggi, sedikit goyah berupaya jaga keseimbangan, perlahan ia mengayuh sembari mengangguk pada paman penjaga sekolah. Si Adik melambaikan tangannya lemah. Orang tua penjaga sekolah menggeleng kepala, lalu menutup gerbang setelah murid terakhir akhirnya pulang.

“Kakak, kenapa kita gak jadi makan bakso? Aku lapar!”

Si kakak sebelia murid SMP kelas satu terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Kakak sudah masak untuk makan siang. Kita makan di rumah aja ya.”

“Pasti sama tempe atau telur lagi. Aku bosan, Kak. Aku mau mie ayam bakso.”

Dalam benak si kakak, kalkulator di otaknya menghitung cepat. Semangkuk mie ayam bakso harganya dua belas ribu rupiah. Sepotong tempe lima ribu rupiah, bisa untuk satu dua hari makan berdua diakali olesan kecap. Seperempat kilogram telur bisa dapat tiga empat butir, enam ribu rupiah. Semangkuk mie sekali makan bisa dapat setengah kilo telur, mendingan dibelikan telur.

Beras dari tetangga masih tersisa dua genggam, cukup satu kali masak. Berarti hari ini setidaknya ia harus mendapat uang untuk membeli beras agar bisa makan dua hingga tiga hari ke depan. Jika tak cukup, terpaksa diakali membeli mie instan lagi. Uang di genggamannya kini tinggal sepuluh ribu, lumayan dapat dua bungkus, ya beli itu saja, untuk ganti mie ayam bakso yang menggugah selera.

Bulan puasa sendiri banyak membantu berhemat, setidaknya jatah makan dirinya bisa dikurangi, tinggal memikirkan adiknya saja. Bagi si kakak, cukup sekali makan sehari, ia mulai biasakan diri berpuasa.

“Kita makan mie rebus spesial pakai telur ya, Dek!” Si Kakak menyembunyikan cemas menyelutuk keras.

Sampai di rumah, setelah mampir warung beli mie instan dua bungkus dan dua butir telur, piawai kakak yang baik itu merebus satu porsi untuk makan siang adiknya jelang sore hari. Ia sendiri tak makan. Ba’da Ashar, habis shalat, si kakak pamit pada adik kecilnya yang setelah kenyang kini rebah memeluk boneka kelinci yang sama kucelnya.

“Kakak berangkat kerja dulu ya! Hati-hati di rumah, nanti dimakan nasi tempe kecapnya ya!”

Si adik mengangguk, tatap mengiring kepergian kakaknya mengayuh sepeda ayah mereka semakin jauh.

Ramadhan hari ke-25

Bapak tua penjaga sekolah menutup gerbang pukul setengah dua siang. Penjemput siswa terakhir sudah pergi, guru dan murid sudah tak ada yang tertinggal lagi. Si Bapak tertegun menatap trotoar, teringat ia kepada anak perempuan yang kemarin menunggu kakaknya. Hari ini ia tak masuk sekolah. Hmmm, ada apa ya? Semoga anak itu tak apa-apa. Kasihan juga mereka. Pak Tua jadi penasaran, kehidupan seperti apa yang dijalani oleh kedua kakak beradik?

Tanpa sadar, ia menggiring motor keluar lalu tahu-tahu sudah memasuki perkampungan tempat tinggal keduanya. Ia hanya ingat pernah melihat si adik bermain sekali, mereka tinggal dekat lapangan bola di bantaran kali.

Benar! Ia melihat anak perempuan itu sedang menangis di pinggir lapangan.

“Dek, ada apa? Kenapa gak masuk sekolah? Kakakmu kemana?” Ia malah mengencangkan raungannya.

Seorang tetangga memberi isyarat mendekat, Bapak tua beralih dan menghampiri.

“Kakaknya tidak pulang dari semalam.” Bisik ibu muda yang menggendong bayinya dengan kain jarit.

“Astaghfirullahal adzim. Tidak ada kabar? Apa anak ini sudah makan?”

“Tadi sudah sih dibuatkan sarapan, habisnya kasihan.”

“Memang kakaknya kemana?”

“Kakaknya mah tiap hari kerja, kalau pagi biasanya mengantarkan koran habis subuh dengan sepedanya itu, lalu jam tujuh mengantar adiknya ke sekolah, lanjut lagi kerja serabutan sebagai buruh kasar di pasar. Siang jemput adiknya lagi, lalu sore berangkat kerja lagi, biasanya dia masakin dulu untuk makan malam adiknya.”

“Sore bekerja dimana?” Penjaga sekolah sampai menggeleng-geleng kepala.

“Saya sih sering melihatnya di sekitar terminal. Kasihan anak sekecil itu sudah harus banting tulang demi mengurus adiknya dan diri sendiri.”

“Bapaknya tak pernah pulang? Memang bapaknya pergi kemana dan kenapa?”

“Bapaknya kabarnya anak buah kapal. Beberapa bulan sekali berlayar melintas pulau keliling Indonesia. Tapi sudah satu tahun ini tidak pernah pulang. Ibunya enam bulan lalu meninggal karena sakit dan tak punya uang untuk berobat. Jadilah si Kakak putus sekolah demi mencari nafkah untuk keduanya.”

“Ya Allah, miris sekali. Lalu Tak ada kabar, tadi malam ia kemana? Apa tak ada yang pergi mencarinya?”

“Pak RT tadi siang berangkat ke kantor polisi, mudah-mudahan ada hasil, kasihan ”

Ibu muda itu lalu pamit karena bayinya menangis tergugah lapar.

“Dek, kita makan bakso yuk! Insya Allah, pulang makan, Kakakmu sudah kembali.”

Mendengar kata bakso, akhirnya si anak kecil perempuan itu mengangkat kepala semasih terisak.

Sebenarnya ia masih ingin menunggu kakaknya, tapi siang ini ia belum makan, dan lapar tidak tertahan.

Maka setelah izin kepada ibu muda tetangga, bapak tua penjaga sekolah membonceng anak itu pergi.

“Adeeeek!” Sebuah seru melengking dari jauh.

Deru motor yang melaju kencang menerbangkan debu mengalahkan seru sayup dari jauh.

“Adeeeek! Tungguuuu!” Si Kakak mengayuh sepeda tuanya kian cepat, terengah-engah memburu.

Motor berbelok menghilang di tikungan, si kakak belum menyerah, mengejar meski berpayah.

“Adeeeek! Ini kakak bawa mie ayam bakso untukmu!”

Adiknya tidak menoleh, kuncirnya semakin jauh.

Si Kakak mulai menangis, mengapa tidak terdengar?

Si Adik kian mengecil, mengapa tidak terkejar?

Di pinggir jembatan bambu untuk menyeberang kali, si Kakak menghenti laju sepeda lalu menepi.

Tatapannya kosong, nanar, memandang hampa debu yang beterbangan di udara

Pak RT kembali tergopoh-gopoh, warga memekik, riuh panik, seketika mengerumun di lapangan

Si Pendi ditemukan di rumah sakit! Tubuhnya penuh memar bekas pukulan benda tumpul, sepertinya terlibat perkelahian. Saksi mata pemilik warung kopi dalam terminal mengaku melihat si Pendi semalam dicegat segerombolan preman yang memalak hasil kerjanya meminta uang.

Si Pendi menolak, malah melawan sekuat tenaga, akhirnya pengeroyoknya marah dan ia jadi bulan-bulanan. Terkapar usai dihajar, oleh pemilik warung dan sejumlah warga yang iba, si Pendi dilarikan ke rumah sakit.

Bukan memar oleh pukul benda tumpul, tapi tusukan senjata tajam yang mengoyak perut akhirnya yang merenggut si Pendi malang punya nyawa.

Ia meregang masih erat menggenggam kantong plastik berisi mie ayam bakso untuk adiknya tersayang.

Si adik dan penjaga sekolah yang kembali sejam kemudian diantar pak RT dan warga setempat ke ruang mayat, dimana terbujur kakaknya terbaik punya jasad.

“Adeeeek!” Seru Pendi menggema di lorong rumah sakit, tapi tidak seorangpun yang mendengar, semua larut dalam isak tangis, menemani banjir air mata adiknya yang kini sebatang kara.

Bocah lelaki di sudut bangsal itu menggumam, sebelum memendar dan perlahan memudar

“Kamu kenapa menangis? Khan kakak sudah berjanji, akan selalu ada untukmu!”[]

---

Dhimas Wisnu Mahendra.

Hamba Allah.

Abdi Negara “Nyambi” Abdi Budaya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |