CDS 5 Tahun Indonesia Sulit Turun, Ini Penjelasan BI

17 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Angka credit default swap (CDS) 5 tahun Indonesia, yang merupakan salah satu produk derivatif yang berfungsi sebagai mitigasi risiko kredit dinilai sulit untuk menyentuh level yang lebih rendah, seperti yang terjadi pada akhir 2024. Bank Indonesia (BI) menilai, hal itu lantaran terjadinya perubahan lanskap perekonomian global pada 2025.

BI diketahui mencatatkan angka CDS 5 tahun per 1 Mei 2025 sebesar 97,18 basis poin (bps), naik dibandingkan pada April 2025 sebesar 93,98 bps. Secara teori, besaran angka CDS mencerminkan persepsi pasar terhadap risiko kredit dari suatu entitas, sehingga semakin tinggi CDS maka semakin tinggi pula persepsi pasar bahwa entitas tersebut berisiko gagal bayar. Dengan kata lain, jika angka CDS turun artinya prospek berinvestasi lebih baik, dan sebaliknya.

Menurut historikalnya, angka update CDS 5 tahun Indonesia tersebut terbilang cukup tinggi dibandingkan pada akhir 2024 di kisaran angka 77 bps. Adapun, angka CDS sempat menyentuh level di atas 100 pada April 2025, namun dapat kembali ke level di bawah 100 memasuki bulan Mei 2025.

“CDS 5 tahun kita meskipun sempat di atas 100 sekarang sudah kembali ke bawah 100, tapi kelihatannya masih belum kembali ke level pada akhir 2024,” ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI Erwin Gunawan Hutapea dalam agenda Taklimat Media BI bertajuk ‘Asesmen Perekonomian Terkini dan Efektivitas Kebijakan Moneter Pro-market untuk Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah’ di Gedung BI, Jakarta, Rabu (7/5/2025).

Erwin mengatakan, BI telah berdiskusi dengan para pelaku pasar mengenai kondisi CDS pada saat ini. Dari diskusi tersebut, Erwin menyimpulkan bahwa para pelaku pasar melihat bahwa kondisi perekonomian global saat ini secara signifikan mengalami perubahan.

“Diskusi yang kami lakukan dengan pelaku pasar, kenapa CDS 5 tahun Indonesia tidak kembali ke level di akhir 2024 yang ada di angka 77, yaitu karena lanskap-nya berubah. Pelaku pasar melihat dunia sudah tidak sama lagi dengan kondisi pada akhir 2024,” ungkapnya.

“Sehingga mereka melakukan rekalkulasi ketidakpastian yang menurut mereka masih akan ada secara global yang membuat CDS kita itu masih di angka sekitar 93 atau 94, meskipun sudah turun,” lanjutnya.

Tarif Trump Hingga Dinamika Geopolitik

Erwin mengungkapkan bahwa kondisi ketidakpastian ekonomi global telah memengaruhi berbagai lini dalam pasar keuangan global. Terutama yang berasal dari polemik kebijakan tarif yang digaungkan oleh Presiden AS Donald Trump.

“Sampai hari ini ketidakpastian itu masih terjadi, kejelasan mengenai bagaimana kompromi terkait tarif resiprokal yang diterapkan oleh administrasi Presiden Trump masih menjadi pertanyaan,” ujar dia.

Ia menyebut, meskipun beberapa pernyataan dari adanya pembicaraan dengan China mulai dibuka, namun ada pernyataan terakhir bahwa kesempakatan tersebut menimbulkan pertanyaan baru. Sehingga ketidakpastian pun masih tetap kuat.

Dengan kondisi ketidakpastian yang terjadi, perekonomian global diprediksi akan mengalami perlambatan. Terutama terjadi pelemahan ekonomi di AS dan China. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 dipangkas dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen.

Pertumbuhan ekonomi AS juga diprediksi terkoreksi menjadi 2 persen. China juga diprediksi mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 menjadi 4 persen.

“Begitu juga negara-negara lain, sehingga ini menimbulkan respons investor,” terangnya.

Ditambah lagi, lanjut Erwin mengenai kondisi geopolitik yang tengah mencuat, yakni polemik antara India dan Pakistan. Kondisi kedua negara tersebut tengah panas, bahkan saling ancam.

“Geopolitik India-Pakistan kelihatannya menambah persoalan, masih menjadi hal yang memengaruhi bagaimana pelaku pasar melihat lanskap perekonomian dan pasar keuangan global,” jelasnya.

Kondisi ketidakpastian global, yang ditambah dengan dinamika geopolitik di berbagai negara yang tengah bergulir, Erwin mengatakan hal itu dipastikan memengaruhi respons dari para pelaku pasar.

“Di tengah ketidakpastian para investor tentunya perilakunya mencari tempat yang aman. Sama seperti kita kalau ada ketidakpastian yang tinggi, kita mencari tempat yang aman, sehingga sejak awal tahun dan diperparah di awal April ini menyebabkan terjadinya aliran modal yang keluar dari negara-negara berkembang, mencari tempat yang aman,” jelasnya.

Menurut catatan BI, sepanjang tahun 2025 (year to date/ytd), berdasarkan data setelmen sampai dengan 30 April 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 49,56 triliun di pasar saham dan sebesar Rp 12,05 triliun di sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), serta beli neto sebesar Rp 23,01 triliun di pasar surat berharga negara (SBN).

Read Entire Article
Politics | | | |